Berbagai survei sebelumnya menunjukkan pemilih yang menghendaki ganti presiden jauh lebih besar dibandingkan yang menginginkannya kembali menjadi presiden.
Sejumlah lembaga survei sampai beberapa pekan sebelum hari H menyatakan tingkat keterpilihan Jokowi di bawah 50 persen ( Litbang Kompas, Median). Dia tahu bila tanpa kecurangan, mobilisasi besar-besaran, maka dia akan kalah.
Kedua, hasil quick count itu sangat mengecewakan Jokowi karena selisih suaranya hanya berkisar antara 7-9 persen. Selama ini dia dininabobokan oleh lembaga survei dengan keunggulan di atas 25 persen.
Hasil itu sungguh sangat mengagetkan. Sudah kampanye habis-habisan selama lima tahun, mengerahkan habis-habisan aparat negara, menguras habis anggaran bansos dan CSR, namun hasilnya hanya seperti itu.
Ketiga, kemenangan Jokowi kurang dari separuh jumlah provinsi menunjukkan basis legitimasinya sangat lemah. Lebih dari separuh wilayah Indonesia tak menghendakinya kembali. Di Aceh dan Sumbar angkanya bahkan sangat kecil di bawah 20 persen.
Dia hanya menang di Jateng, Jatim di luar Madura, dan provinsi dengan mayoritas non muslim seperti Bali, NTT, Sulut, Maluku dll
Perolehan suara ini menjadi persoalan serius bila bicara masalah representasi. Indonesia bukan hanya Jateng, Jatim, sebagian wilayah Nusra, dan Indonesia Timur.
Persepsi yang terbentuk Jokowi hanya akan menjadi presiden untuk Jateng, Jatim dan wilayah mayoritas non muslim. Ini bisa berbahaya.