Nasib Gerindra akan sama dengan Demokrat, bahkan sangat mungkin lebih buruk.
Rakyat bahkan malah bisa lebih memahami dan memaklumi apa yang dilakukan SBY dan Demokrat. Ada yang lebih buruk perilakunya, yakni Prabowo dan Gerindra.
Dari pemilu ke pemilu suaranya akan tergerus. Gerindra akan mengalami perpecahan, karena masih banyak tokoh di Gerindra yang tak sepakat dengan langkah pragmatis dan oportunis.
Ayam bertelur emas itu akan mati, karena dipaksa terus bertelur sebelum waktunya. Cerita anak-anak tentang hikayat petani rakus dan ayam bertelur emas itu harus benar-benar direnungkan.
Opsi pertama ini bila tetap dipilih akan buruk buat Prabowo, juga buruk buat Jokowi.
Target Jokowi melumpuhkan perlawanan oposisi tidak akan tercapai. Hal itu setidaknya sudah terbukti pada aksi 21-22 Mei di Bawaslu, dan yang sangat kasat mata pada aksi 27 Juni di MK.
Prabowo-Sandi sudah secara tegas meminta massa pendukungnya tidak turun ke jalan, namun mereka abaikan. Mereka tetap turun ke jalan. Jumlahnya cukup banyak. Ratusan ribu. Sebagian datang dari berbagai daerah, kendati sudah diancam dan dirazia aparat keamanan.
Yang paling menarik dalam aksi di MK adalah munculnya figur baru sebagai tokoh sentral komando di lapangan. Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua (71 th) menjadi ikon baru perlawanan.
Hal itu menunjukkan kelompok perlawanan punya banyak stok simbol perlawanan. Hilang satu muncul seribu. Tidak bergantung kepada Prabowo sebagai tokoh sentral.
Harga mahal yang harus dikeluarkan Jokowi untuk menggaet Prabowo tidak ada gunanya.
Prabowo akan menjadi ikan yang dipisahkan dari airnya. Tanpa pendukung yang militan. Tanpa pendukung yang ikhlas menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta bendanya, Prabowo bukan siapa-siapa.