Politisi, apalagi yang menjadi pejabat publik ditangkap karena menerima suap atau korupsi, bukankah sudah jamak? Harus ada antisipasi jauh-jauh hari.
Benar bahwa Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad sudah memberi keterangan media. Namun sifatnya hanya normatif, bahwa Prabowo sudah mendengar informasi penangkapan Edhy.
Pilihan “hanya” Sekjen yang menyampaikan penjelasan, secara komunikasi politik sudah benar.
Penangkapan pejabat sekelas menteri, setelah KPK sekian lama mati suri, harus disikapi dengan hati-hati. Ada nuansa pertarungan politik tingkat tinggi, yang harus dihitung dengan cermat dan infonya harus akurat.
Bila Sekjen salah menyikapi, maka kesalahannya masih bisa diperbaiki oleh ketua harian. Prabowo bisa berperan sebagai last resort jika di level bawahnya terjadi kesalahan.
Contohnya pada kasus klaim bahwa Prabowo berperan dalam kepulangan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Isu ini sangat sensitif bila dikaitkan dengan posisi Gerindra sebagai partai pendukung pemerintah.
Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad kala itu langsung menyampaikan ralat. Dia menyalahkan media dan menyebutnya sebagai “isu liar”.
Prabowo tetap bertahan.
Bila kita cermati, pernyataan sikap yang dibacakan Muzani benar-benar dipersiapkan secara matang dan hati-hati. Bersifat standar dan terbuka.
Hal itu menunjukkan Gerindra masih mempelajari segala sesuatunya dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Misalnya Muzani menyatakan percaya kepada KPK akan bersifat transparan. Meminta agar publik mengedepankan praduga tak bersalah.
Gerindra juga minta maaf kepada Jokowi, Maruf Amin, dan anggota kabinet. Mereka juga percaya bahwa pelayanan publik, proses pembangunan akan terus berjalan.
Pada bagian akhir, Muzani meminta maaf kepada masyarakat dan meminta agar kader solid.
Tidak ada respons yang emosional, apalagi menyalahkan pihak lain. Begitu juga soal desakan agar Prabowo mundur, tidak ditanggapi.
Dari pernyataan Muzani dapat disimpulkan, Gerindra menyampaikan pesan. Mereka akan tetap bertahan di pemerintahan. Prabowo juga menolak mundur.
Namun bila kita cermati, ada yang tidak terucapkan. Prabowo masih bersikap wait and see. Menunggu langkah Jokowi berikutnya.
Keputusan politik Gerindra sangat tergantung dengan sikap dan keputusan politik Jokowi.
Sejauh ini Jokowi hanya memberi penjelasan pendek ke media, bahwa dia percaya KPK bertindak transparan. Jokowi juga minta publik menghormati proses hukum.
Langkah Jokowi berikutnya adalah menunjuk orang kepercayaannya Menko Marinvest Luhut Panjaitan, sebagai Menteri KKP ad interim.
Kebetulan kementerian yang dipimpin Edhy berada di bawah koordinasi Luhut.
Tak lama setelah ditunjuk Jokowi, Luhut langung beraksi. Dia minta KPK tidak berlebihan dalam bertindak. Dia juga mengatakan, Edhy orang baik, dan kebijakannya benar.
Terkesan Luhut pasang badan.
Yang lebih menggembirakan, dia menyatakan tak ingin lama-lama memegang posisi Menteri KKP. Pekerjaannya sendiri sudah berjibun.
Bagaimana sikap Jokowi selanjutnya?
Apakah posisi yang ditinggalkan Edhy akan diserahkan ke partai lain, diserahkan ke profesional? Atau tetap diserahkan ke Gerindra?
Sikap Jokowi akan menentukan langkah lebih lanjut Prabowo.
Bila dikurangi jatahnya, sangat mungkin dia mengambil langkah drastis. Termasuk opsi mundur.
Keputusan mempertahankan jatah kursi Gerindra, sebagaimana sama-sama kita pahami, tidak hanya semata berada di tangan Jokowi.
Dia harus mendengarkan, bahkan menjalankan apa yang diinginkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati.
Bagaimanapun PDIP adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Mereka punya hak veto.
Bagaimana Megawati memandang Prabowo, setelah sekian lama bersama di pemerintahan?
Apakah tetap melihat Gerindra terutama Prabowo sebagai sekutu potensial 2024, atau tidak?
Bila tidak, atau malah dianggap potensial bakal menjadi lawan, ya diamputasi. Kalau itu terjadi, maka dinamika politik akan sangat menarik.
Karena itulah mengapa Prabowo sampai sekarang masih terus diam. Dia mengamati dengan cermat dinamika yang berkembang.