Kompromi kelompok media yang membesar menjadi bisnis bukan hal baru dalam politik Idonesia. Wartawan senior Jus Soema di Pradja bercerita bagaimana dia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari harian Kompas.
Pada 26 Januari 1976 sejumlah pemimpin media yang dibreidel, termasuk Pemimpin Redaksi Kompas Jacob Oetama menandatangani perjanjian dan menulis surat kepada penguasa Orde Baru Soeharto. Pada garis besarnya dalam surat tersebut, mereka akan mentaati semua garis kebijakan Orde Baru. Singkat kata tak akan lagi bersikap kritis.
Jus sempat mendatangi kediaman Jacob di kawasan Pejompongan, Jakarta. Dia mempertanyakan sikap Jacob yang dianggap mengkhianati independensi dan sikap kritis terhadap penguasa. “Bung mau dikemanakan 2.500 orang karyawan kita,” tanya Jacob.
Saat itu Kompas sudah punya 32 unit usaha. Majalah bobo, intisari, Midi, penerbitan buku Gramedia, sampai Unit Gramedia Film. Hanya beberapa hari setelah itu, Jus mengundurkan diri karena menganggap tugas media sudah selesai.
Kompas terus tumbuh menjadi kelompok usaha besar karena pilihan kebijakan redaksinya. Indonesianis Benedict Anderson menyebut Kompas sebagai “Koran Orde Baru yang Sempurna.” (Sen, Hill : 1995).
Jurnalisme meliuk, dengan swasensor ( self censorship) yang ketat. Slaman, slumun, slamet, kata orang Jawa.
Para pemilik media ini lupa, saat ini _stakeholder_ media yang terpenting itu bukan lagi penguasa. Tapi pembaca yang berdaya dan sudah tercerahkan.
Kompromi-kompromi politik para pemilik media dan penguasa saat ini diimbangi oleh munculnya media non-mainstream, dan menguatnya media sosial.
Banyak muncul wartawan maupun penulis yang tetap menjunjung tinggi, kredo media sebagai anjing penjaga. Mereka memanfaatkan fenomena media non arus utama dan medsos sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa dan media pendukungnya.
DR Syahganda Nainggolan, aktivis dari ITB yang keluar masuk penjara di masa Orde Baru menyebut mereka sebagai “orang-orang Merdeka.”
Fenomena munculnya media maupun penulis alternatif ini tidak bisa dipandang remeh oleh media mainstream maupun penguasa. Sebuah survei yang digelar oleh Daily Media, menunjukkan jumlah pengguna media sosial kian membesar, sementara media konvensional, terutama media cetak, kian ditinggalkan. (kl/hersubenoarief)