Dari perhitungan Depkeu potensi uang orang Indonesia yang diparkir di luar negeri lebih besar dari Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia sebesar Rp 11.400 triliun. “Nah menurut perhitungan kami potensinya lebih besar dari GDP kita. Jadi lebih dari Rp 11.400 triliun,” ujarnya.
Jumlah itu bila dikurangi dana yang berhasil dipulangkan, seperti pengakuan Nurfransa sebesar Rp 147 triliun, masih lebih dari Rp 11.400 triliun. Masih lebih besar dari yang disampaikan Prabowo.
Atas dasar itulah kemudian pemerintah menggagas tax amesty. Pengampunan pajak, dengan syarat para pemilik uang super jumbo itu membawa pulang kembali dananya ke Indonesia.
Presiden Jokowi sangat bersemangat mengejar dana parkir ini. Dia aktif bertemu pengusaha dan melakukan sosialisasi program tax amnesty, sambil sedikit mengancam.
“Banyak sekali uang milik orang Indonesia di luar. Ada data di kantong saya, di Kemenkeu di situ dihitung ada Rp 11.000 triliun yang disimpan di luar negeri. Di kantong saya beda lagi datanya, lebih banyak. Karena sumbernya berbeda,” ujar Jokowi di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Senin (1/8/2016)
Dia mengatakan bertekad membawa pulang dana itu sehingga bisa digunakan untuk pembangunan di dalam negeri. “Yang paling penting bagaimana uang-uang itu bisa dibawa kembali ke negara kita. Karena kita perlu partisipasi saudara-saudara sekalian untuk negara dan bangsa,” kata Jokowi kepada 10.000 peserta sosialisasi.
Pernyataan yang sama kembali disampaikan Jokowi saat menyampaikan pidato di Hotel Clarion, Makassar (25/11/2016). “Data yang ada di Kementerian kurang lebih Rp 11 ribu triliun. Daftarnya ada di kantong saya. Yang hadir di sini saya hapal, satu dua masih simpan di sana,” ujar Jokowi dengan sangat percaya diri.
Jokowi mengingatkan kepada para pengusaha yang hadir, bahwa di tahun 2018 akan ada UU pertukaran informasi pajak antar-negara. Karena semua negara telah menyepakati aturan internasional mengenai keterbukaan informasi tersebut.
“Duit orang Indonesia yang di Singapura, Swiss, Hong Kong, berapa? Semua akan terbuka karena aturan internasional sudah tandatangan semuanya. Itu era keterbukaan,” lanjut Jokowi.
I dont know what I say
Tantangan Jokowi dan para pembantu dekatnya kepada Prabowo untuk membuktikan ucapannya ini sungguh membingungkan. Kok bisa Jokowi membantah ucapannya sendiri?
Jika dulu ada guyonan ”I dont read, what I sign,” alias saya tidak pernah baca, apa yang saya tandatangani. Sekarang guyonan itu kelihatannya harus diubah “I dont know, what I say.” Jokowi tidak pernah tahu, apa yang dia ucapkan.
I dont read what I sign menggambarkan betapa banyak sekali kebijakan-kebijakan yang ditandatangani Jokowi, hanya dalam waktu sekejap diubah, atau dibatalkan.