Jadi prosesnya dipastikan akan berlanjut. Edhy dipastikan harus mengucapkan selamat tinggal, pada kursi menteri yang hanya sejenak bisa dia nikmati.
Bersama anggota Kabinet Jokowi-Ma’ruf dia dilantik pada tanggal 23 November 2019. Jadi hanya 1 tahun lebih 1 bulan, 2 hari.
Hari pelantikan sebagai anggota kabinet, dan hari penangkapannya sama. Sama-sama Rabu. Bedanya hanya waktu. Satu pagi hari, yang lain dinihari.
Kalau nasib Edhy sudah hampir bisa dipastikan, bagaimana dengan nasib masa depan hubungan Prabowo-Jokowi?
Edhy bagaimanapun merupakan tangan kanan Prabowo di pemerintahan.
Dia dikader sejak usia belia oleh Prabowo.
Diselamatkan, disekolahkan, dikader, hingga didudukkan menjadi menteri.
Berarti dia mempunyai posisi sangat spesial bagi Prabowo. Bukan hanya Ring 1, tapi Ring 1/2.
Betapa spesialnya Edhy bisa terlihat ketika menghadap Jokowi di Istana Merdeka. Dia datang bersama Prabowo.
Pakaian yang dikenakan pun sama. Seragam kebesaran Gerindra atasan putih, dengan bawahan warna kaki.
Penangkapan Edhy jelas merupakan pukulan telak bagi Prabowo.
Penangkapan Edhy menunjukkan tidak ada proteksi, dan perlakuan spesial dari istana.
Prabowo pasti tahu dan paham, ada beberapa petinggi partai yang nyaris ditangkap KPK. Tapi bisa berkelit, dan tidak ada kelanjutan kasusnya.
Sebagai anggota koalisi, posisi Prabowo c/q Gerindra harusnya, sekali lagi harusnya, sangat spesial di pemerintahan.
Selain jumlah kursinya di DPR terbesar kedua setelah PDIP, Prabowo juga masuk kabinet karena “diminta” oleh Megawati dan Jokowi.
Dimulai pertemuan dengan Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Diakhiri makan siang di resto Satay House, Senayan.
Dilanjutkan dengan jamuan makan nasi goreng spesial di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Posisinya jelas beda dengan partai yang lain. Dia diminta masuk, untuk memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap pemerintahan Jokowi.
Kalau setelah masuk, ternyata salah satu orang kepercayaannya dibiarkan dicokok oleh KPK, ini jelas sebuah penghinaan besar bagi Prabowo.
Marwahnya sebagai figur yang sering menggembar-gemborkan pemberantasan korupsi. Maling-maling uang rakyat, begitu dia sering secara lugas menyebut, benar-benar tercoreng.
Pilihan Prabowo
Apa pilihan Prabowo menghadapi situasi yang pelik dan musykil ini?
Pertama, jika ingin menunjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatannya, Prabowo akan membiarkan Edhy.
Dia bahkan segera menyampaikan kepada publik memecat Edhy dari partai.
Langkah itu malah bisa digunakannya sebagai momentum memperkuat citra dirinya sebagai figur anti korupsi. Pamor Gerindra juga akan terangkat tinggi.
Prabowo bisa memilih figur lain dengan integritas tinggi, menggantikan Edhy. Gerindra seharusnya tidak akan kekurangan stok.
Kedua, bila Prabowo merasa dikhianati, maka ada beberapa opsi yang diambil:
Membiarkan jabatan yang ditinggalkan Edhy, kosong dan diserahkan kepada partai lain. Sikap ini merupakan signal yang sangat keras bahwa dia sangat marah, kecewa kepada Jokowi dan Megawati.
Langkah lain yang lebih drastis, Prabowo mengundurkan diri dari kabinet, sebagai bentuk perlawanan secara terbuka kepada Jokowi dan Megawati.
Opsi mana yang akan diambil oleh Prabowo? Hal itu akan menunjukkan kualitas dirinya sebagai tokoh politik dan pemimpin partai besar sekelas Gerindra.
Meminjam istilah yang pernah diucapkan secara heroik oleh Prabowo, apakah setelah penangkapan Edhy, dia tetap memilih “timbul dan tenggelam bersama Jokowi?.”
Sejarah akan mencatat. Prabowo seorang pensiunan jenderal. Pernah dijuluki sebagai macan Asia, memilih seperti apa dia akan dikenang? ***
Penulis: Hersubeno Arief, Wartawan Senior