Jika dibiarkan tanpa penjelasan yang masuk akal, akan semakin menggerus kepercayaan publik tehadap pemerintah dan membahayakan legitimasi Jokowi seandainya dia tetap dimenangkan MK.
Mudah-mudahan tidak muncul jawaban yang sedang menjadi trend, “salah input” dari operator.
Kedua, kapitalisasi semua kebijakan petahana. Dalam batas-batas tertentu secara positif hal ini bisa dibenarkan. Disitulah keuntungan seorang petahana.
Dalam marketing politik praktik semacam ini disebut sebagai permanent campaign. Seorang petahana memanfaatkan semua kebijakan dan sumber daya dalam pemerintahan untuk tetap mempertahankan citranya.
Tujuannya adalah tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah ( presidential approval rating).
Yang jadi masalah bila yang dimaksud kapitalisasi kebijakan petahana adalah penyalahgunaan anggaran pemerintah. Penggelontoran dana bansos besar-besaran, penyaluran dana desa, penyaluran dana-dana CSR dari BUMN yang tidak sesuai aturan dan berbagai kebijakan lain dengan target untuk memenangkan petahana.
Sangat mudah membedakan apakah kapitalisasi kebijakan pemerintah yang dimaksud dalam konotasi positif, atau dengan tujuan melakukan “kecurangan.”
Dalam cara yang positif pemerintah membuat program kerja yang benar-benar berorientasi pada kebijakan mensejahterakan rakyat. Dilakukan secara terencana sepanjang lima tahun.
Sementara dengan tujuan melakukan “kecurangan,” program dan kebijakan itu dilakukan hanya menjelang pelaksanaan pilpres. Misalnya selama empat tahun gaji PNS, TNI dan Polri tidak pernah naik. Tiba-tiba menjelang pilpres, gaji dinaikkan.
Ketiga, penggunaan aparat untuk kemenangan. Untuk poin ini tidak perlu diskusi panjang lebar, jelas merupakan kecurangan. Abuse of power. Hal ini bila bisa dibuktikan di persidangan akan menjadi dasar majelis MK memutuskan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
Anas menyebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menjadi salah satu pemateri dengan tegas menyatakan, “secara statistik, kalau mau memenangkan paslon 01, aparat harus tidak netral. Kalau aparat netral untuk apa.”
Dalam pelatihan selama dua hari, dua malam itu dijelaskan bahwa untuk memenangkan paslon 01 di Sumatera, maka para kepala daerah harus dilibatkan dengan dukungan logistik, sampai lurah dan para petugas KPPS.
Keempat,” mendorong swing voter menjadi golput. Poin keempat ini kendati tidak bisa disebut sebagai pelanggaran, namun menunjukkan sebuah ironi.
Untuk menang petahana menggunakan segala cara : halal, haram, hantam (3H), termasuk yang makruh dan mubah.
Secara netral langkah timses paslon 01 itu sebenarnya bisa dipahami. Swing voter atau pemilih mengambang, biasanya tidak akan memilih petahana.
Kalau toh mereka akhirnya memutuskan untuk memilih, kecenderungannya akan memilih lawan petahana dalam hal ini paslon 02. Jadi agar tidak berisiko, pilihan paling aman bagi TKN adalah mendorong mereka golput.
Yang menjadi ironi tingkat partisipasi peserta pemilu adalah satu satu keberhasilan pemerintah, di luar KPU. Ketika petahana yang juga kontestan justru mendorong pemilih untuk golput, jelas sangat menyedihkan.
Tak ada satu pun dalam pemerintahan demokrasi ( yang benar) di dunia ini yang mendorong rakyatnya untuk golput. Fenomena ini bisa kita masukkan dalam catatan “believe it, or not.” Aneh tapi nyata.
Kelima, menyebar isu kelompok Islam radikal dan khilafah. Materi ini menurut Anas disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Dari penjelasan Anas kita jadi paham bahwa isu Islam radikal dan soal khilafah adalah hantu yang sengaja diciptakan dan disebarkan, untuk mendiskreditkan paslon 02.
Ini adalah politik pecah belah, adu domba menggunakan isu agama. Wajar bila kemudian sentimen berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan meningkat, karena itu adalah bagian dari strategi. Jadi paham khan?
Menyaksikan jalan persidangan di MK, menyimak keterangan para saksi, publik jadi lebih paham bagaimana kualitas demokrasi Indonesia. Bagaimana seorang penguasa menggunakan berbagai cara agar dapat tetap mempertahankan kekuasaan.
Dalam situasi semacam ini kita jadi teringat ucapan Presiden AS (1809-1865) Abraham Lincoln : You can fool all the people some of the time and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time.
Anda bisa membohongi semua orang beberapa waktu. Anda dapat membohongi beberapa orang sepanjang waktu. Tapi Anda tidak akan bisa membohongi semua orang sepanjang waktu.
Orang Jawa punya ungkapan pendek soal ini ”Gusti Allah Mboten Sare. [end/hersubeno-arief.com]