Tudingan ini segera dibantah oleh Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah bahkan berencana melangkah lebih jauh akan menempuh jalur hukum.
Pemerintah Cina melalui Kedubes di Jakarta juga langsung bereaksi. Mereka membuat sejumlah opini/artikel dan wawancara berbayar ( sponsored content ) di beberapa media nasional.
Pemerintah Cina menyerang pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai pihak yang berada di balik pemberitaan WSJ.
Tegasnya WSJ digunakan untuk menghancurkan kredibilitas Cina. WSJ menggunakan strategi kill the messenger dengan cara membusukkan ormas Islam yang dicurigai membawa pesan pemerintah Cina.
Bagaimana opini publik menanggapinya? Secara umum publik lebih mempercayai WSJ. Negara-negara Barat, terutama AS mempunyai tradisi pers bebas. Peran media justru sebagai alat kontrol pemerintah.
Sebaliknya Cina negara diktator komunis. Tidak ada media yang bebas. Semua dikontrol pemerintah. Peran media menjadi pembenar ( _justifikasi_ ) terhadap semua hal yang dilakukan oleh pemerintah. Menjadi corong dan alat propaganda pemerintah. Jadi tidak layak dipercaya.
Sejarah panjang WSJ sebagai media yang kredibel semakin meyakinkan publik. Info yang disampaikan oleh WSJ lebih dipercaya ketimbang yang berasal dari pemerintah Cina.
Gegara pemberitaan WSJ ini semua operasi _public relation_ dan pembentukan opini yang susah payah dilakukan pemerintah Cina berantakan. Perlu kerja keras dan waktu yang cukup lama untuk memperbaikinya.
Di Indonesia masyarakat madani ramai-ramai menyerukan dukungan terhadap Uighur. Suaranya justru jauh lebih kencang dibanding sebelumnya.
Gugatan atas penindasan muslim Uighur oleh pemerintah Cina justru lebih meluas. Masyarakat jadi lebih _ngeh,_ setelah media memberitakannya secara luas.
PP Muhammadiyah justru bersuara lebih kencang dan sangat kritis terhadap isu Uighur. Muhammadiyah tampaknya ingin menunjukkan kepada publik bahwa undangan dari pemerintah Cina, tidak mengubah sikap kritis mereka. Sementara NU mencoba tetap proporsional dengan melihat masalah tersebut sebagai persoalan domestik Cina, namun tidak menutup mata adanya persoalan pada kebebasan muslim Uighur dalam menjalankan ibadah.
Sikap ini sangat berbeda dengan pernyataan Ketum PBNU Said Agil Siradj yang selama ini terkesan sangat membela pemerintah Cina. Dalam sebuah kesempatan dia pernah menyatakan Islam berkembang sangat baik di Cina.
“Pemerintah di sana bahkan memberi perhatian kepada umat Muslim di sana dengan memperbaiki masjid-masjid bahkan lahir ratusan restoran halal,” kata Kiai Said usai menghadiri diskusi bedah buku berjudul ‘Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok’ (17/07/2019).
Hanya di level elit
Pemberitaan WSJ juga menunjukkan bahwa pengaruh Cina di Indonesia saat ini hanya kuat di level elit. Hanya di pemerintahan dan elit politik yang punya kepentingan atas Cina. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan kepentingan pemerintah terhadap investasi Cina