Tidak ada tukang survei yang yakin jagoannya tak akan terbendung melayani tantangan konyol netizen. Bertaruh akan pindah ke negara komunis kalau sampai Jokowi kalah.
Semua itu menunjukkan perilaku konyol orang panik. Perilaku konyol orang yang menyadari junjungannya bakal kalah. Tak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Seorang penguasa yang sudah merasa di atas angin. Yang merasa elektabilitasnya tak mungkin terkejar, perilakunya pasti penuh percaya diri. Perilaku itu setidaknya pernah ditunjukkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika pada Pilpres 2009 memilih Budiono.
Dia tak peduli Budiono tidak mewakili representasi Jawa-non Jawa. Tidak mewakili representasi kekuatan parpol, tidak menjanjikan tambahan elektabilitas. Budiono adalah akademisi dan kemudian menjadi birokrat. Secara politik, pria kalem ini tidak punya pendukung. Terbukti SBY tetap melenggang.
Kalau benar Jokowi sangat perkasa, ibarat kata dipasangkan dengan sendal jepit pun menang. Seharusnya dia tak usah susah payah mencari cawapres.
Tak perlu ada drama eliminasi Mahfud MD di hari terakhir pendaftaran paslon. Tak perlu menggaet Kyai Ma’ruf Amin, seorang Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU.
Perilaku seperti yang dilakukan Jokowi dan pendukungnya menunjukkan perilaku orang yang panik tingkat dewa. Semua hal dilakukan agar selamat. Seperti orang yang akan tenggelam, mengira sebatang jerami sebagai sebatang pohon.
Agak mengherankan
Sebagai inkumben yang sudah berkampanye hampir selama lima tahun, seharusnya tidak ada kamusnya Jokowi kalah. Apalagi jika ingatan kita kembali ke Pilpres 2014. Jokowi digambarkan seperti manusia setengah dewa.
Seorang Satrio Piningit, Ratu Adil yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah, loh jinawi. Adil makmur, toto tentrem, kerto raharjo. Ekspektasi publik terhadap pria sederhana dari tepian Bengawan Solo ini sangat tinggi.