Tetapi itulah risiko seorang pemimpin. Harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer.
Tidak usah terlalu memikirkan kecaman publik, selama dia yakin kebijakannya bermanfaat. Untuk kepentingan umum. Apalagi kondisi sudah sangat darurat!
Pembatasan keluar rumah, kerja dari rumah, dan meniadakan kegiatan yang melibatkan publik secara besar, adalah salah satu cara efektif mencegah penyebaran virus. Anies juga meminta sekolah dan rumah-rumah ibadah ditutup.
Melihat langkah Anies, istana mulai was-was. Tampak jelas sekali cara berpikir istana sangat politis. Mengabaikan situasi darurat. Menganggap langkah Anies sebagai upaya mencuri panggung. Sikap itu tidak terlalu mengherankan.
Sejak wabah merebak di Wuhan, Cina. Pemerintah terkesan menganggap enteng. Sangat yakin Indonesia kebal Covid-19. Ketika ada seorang peneliti dari Harvard University mengingatkan bahwa secara teori virus sudah menyebar di Indonesia, Menkes Terawan malah menantang. Dia minta dibuktikan.
Presiden Jokowi dengan gagah menawarkan bantuan untuk Cina. Dalam rapat kabinet, Jokowi meminta para menterinya memaksimalkan kegiatan konferensi dan pariwisata di Indonesia. Berharap musibah di sejumlah negara itu bisa menjadi berkah bagi Indonesia.
Pemerintah bahkan menganggarkan Rp 72 miliar bagi para influencer. Tugasnya menarik wisatawan yang batal ke Cina, Jepang, dan Korsel berkunjung ke Indonesia.
Tanggal 17 Maret, sehari setelah pembatasan operasional kendaraan umum di Jakarta, Jokowi mengutus Mendagri Tito Karnavian menemui Anies Baswedan. Dalam pertemuan itu Tito mengingatkan Anies, kewenangan melakukan lockdown ada di tangan pemerintahan pusat.
Tampaknya istana melihat ada tanda-tanda, instruksi Jokowi agar Pemda tidak melakukan lockdown tidak dipatuhi. Apapun namanya, berbagai kebijakan yang diambil oleh Anies menuju ke arah lockdown.
Mulai dari sini publik sesungguhnya mulai bisa melihat kualitas kepemimpinan Anies. Publik terutama kalangan pengamat kebijakan publik, praktisi kesehatan, dan kalangan medis menilai lockdown merupakan langkah yang paling tepat mencegah penyebaran Covid-19.
Seruan untuk melakukan lockdown malah dilawan istana dengan mengerahkan buzzer.
Semua wacana tentang perlunya lockdown, langsung mereka hajar. Bahkan termasuk seruan dari sejumlah figur yang selama ini dikenal sebagai pendukung Jokowi.
Istana membuat framing, seruan lockdown membawa agenda terselubung menjatuhkan pemerintahan. Juru bicara istana Fadjroel Rachman menyebut para pengecam pemerintah sebagai para pecundang politik.
Lockdown yang dilakukan sejumlah negara, mulai dari Cina, Inggris, bahkan AS adalah langkah drastis mencegah penyebaran virus. Dampaknya memang sangat besar secara ekonomi, sosial, dan tak tertutup dampak politik. Tapi itu harga yang harus dibayar seorang pemimpin.
Langkah itu, dalam bahasa seorang ahli Clinical Epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma seperti menutup benteng. Sehingga musuh tidak bisa masuk.
Langkah Jokowi memutuskan untuk tidak lockdown, membuat musuh masuk ke dalam benteng. Jadilah sekarang perang melawan musuh yang tidak kelihatan itu berlangsung di dalam benteng.
Dengan sifat Covid-19 yang cepat menular, situasinya saat ini seperti kita berperang melawan mutan. Bala tentara kita yang digigit mutan, otomatis berubah menjadi pasukan musuh.
Sialnya musuh itu tidak terlihat membahayakan. Mereka bisa saja tetangga, keluarga, anak, suami, istri, dan orang tua kita sendiri. Semuanya sudah terlambat karena keputusan Jokowi.
Sebagai “panglima perang” melawan corona, seharusnya prioritas Jokowi menyatupadukan semua kekuatan pasukan. Mereka harus bahu membahu melawan musuh. Jangan dipecah belah. Dicurigai. Atau malah dimusuhi.
Menyelamatkan para tenaga medis
Ibarat pepatah, buzzer menggonggong Anies berlalu, dia terus melangkah. Anies meminta perkantoran di Jakarta tutup selama 14 hari.