Bagi generasi yang lebih tua, agak sulit memahami budaya pop ini. Tapi sebagai bayangan kira-kira sama dengan para penggemar music rock pada era 70-80an. Gemar mengoleksi kaset, memajang poster dan mengikuti gaya rambut dan pakaian bintang idolanya. Tapi yang ini lebih gila.
Nah ketika tiba-tiba para penggemar K-Pop ini mulai lebih abai dengan isu politik dan kemanusiaan, wajar bila pemerintah China mulai waspada.
Sudah sejak lama pemerintah China mewaspadai budaya pop Korea yang menyebar melalui serial drama televisi dan musik. Penggemarnya sangat besar di China.
Gaya boy band Korea yang berdandan ala perempuan, akrab dengan make up, memakai anting, mencat rambut dan memakai pakaian warna-warni, membuat prihatin.
Pemerintah China menganggap ini sebagai sebuah ancaman dan menyebutnya sebagai budaya sakit. K-Pop Idol ini mereka sebut sebagai sissy pant. Celana banci! Tidak macho dan jantan.
Sejak tahun 2016 China melarang apapun yang berbau Korea. Travel agen berhenti menjual paket perjalanan ke Korea. Acara drama Korea menghilang dari layar televisi. Pemberitaan para bintang pop Korea bahkan menghilang dari media-media China.
Larangan itu sangat memukul Korea. Bagaimanapun China adalah pasar besar.
Sejak tahun 2017 larangan itu dicabut. Akhir tahun 2018 para penggemar K-Pop di China sudah bisa kembali menyaksikan konser para idolanya.
Peran para K-Popers menggaungkan tagar #China is Terrorist jelas sangat mengagetkan dan membuat pemerintah China waspada. Mereka sangat sensitif terhadap isu muslim Uighur.
Musik sebagai alat protes bukanlah hal yang asing dalam berbagai pergerakan dunia. Namun ketika Kpopers yang kulturnya cenderung feminin tiba-tiba secara garang menyuarakan kezaliman China atas muslim Uighur, tentu ini sangat istimewa.
Benar seperti yang mereka katakan. “Anda tidak perlu menjadi Muslim untuk ikut merasakan penderitaan orang Uighur.”
Penderitaan etnis Uighur bukan lah soal agama. Ini masalah hak asasi manusia.(*end)
Penlis: Hersubeno Arief