Sebaliknya ketika bertemu Prabowo dan rombongan Sri Sultan menggunakan komunikasi low context. Langsung pada persoalan.
Sultan mengatakan Prabowo harus menjaga NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Sultan juga menyampaikan jika kelak Prabowo terpilih sebagai presiden agar membentuk pemerintahan yang efektif dan bisa mengembalikan kejayaan Indonesia.
Selain seorang raja yang titahnya harus ditaati, figur seperti Sultan dianggap mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki manusia biasa. Jalmo limpat seprapat tamat. Seorang yg punya kelebihan bisa membaca apa yg akan terjadi.
Ucapan Prabowo agar membentuk pemerintahan yang efektif dan mengembalikan kejayaan Indonesia harus diartikan bahwa Sultan sudah mendapat firasat, wangsit, siapa yang akan menjadi pemenang.
Di luar isyarat-isyarat politik itu, sebenarnya sudah sejak lama publik bisa membaca ada ketidaknyamanan Sultan atas pemerintahan Jokowi. Dia misalnya dengan bahasa yang halus menyatakan ketidak-setujuannya atas program “tol laut dan jalur sutra” Jokowi.
Dalam pandangannya dibangunnya beberapa pelabuhan dan bandar udara, tidak disertai membangun potensi lokal dan menyiapkan masyarakatnya. Berbagai fasilitas itu memudahkan produk dan orang asing masuk ke Indonesia. Bukan sebaliknya.
Sultan juga pernah menyatakan ketidaksetujuannya atas pengerjaan yang terburu-buru Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Jokowi menargetkan bandara itu harus selesai sebelum April, saat pilpres berlangsung.
Ketika meninjau proyek itu Sultan pernah berpesan kepada pekerja agar tidak usah terburu-buru mengerjakannya. Jangan sampai seperti legenda Bandung Bondowoso yang harus membangun seribu candi hanya dalam waktu semalam. Sultan ingin kualitas bangunan bandara harus baik, tidak dibuat dengan mengabaikan kualitasnya demi mengejar waktu.
Soal pembangunan ruas jalan tol yang sangat dibanggakan Jokowi, Sultan juga punya pandangan berbeda. Dia menolak jalan tol dibangun di Yogya.
Sultan berpandangan pemerintah harusnya lebih mengutamakan membangun infrastruktur jalan reguler. Semua orang bisa mengakses, tanpa harus membayar. Jalan tol juga menjadikan daerah yang dilewati terisolir dan tidak maju pertumbuhan ekonominya. Sultan juga khawatir jalan pembangunan jalan tol akan merusak situs-situs budaya dan sejarah di Yogyakarta.
Berbagai perbedaan cara pandang dalam mengelola pembangunan itulah yang tampaknya membuat Sultan secara tersirat mulai menunjukkan kemana bandul politiknya diarahkan.
Bagi Jokowi sikap Sultan ini tentu saja tidak menggembirakan. Jogya adalah salah satu kantong suaranya. Pada Pilpres 2014 Jokowi unggul di Yogyakarta dengan meraih 55,81 persen suara, sementara Prabowo hanya meraih 44,19 persen.
Sikap politik Sultan dipastikan akan mengubah konstelasi politik di tlatah Mataram. Akan terjadi migrasi politik besar mengikuti langkah Ngarso Dalem.
Satu persatu wilayah yang sebelumnya dikuasai Jokowi, jatuh ke tangan Prabowo. end (Hersubeno-Arief.com)