Ada beberapa target dari umpan terobosan Anies.
Pertama, ini merupakan serangan balik terhadap Menko Perekonomian Luhut Binsar Panjaitan yang pasang badan pada proyek Reklamasi.
Kedua, memperbesar basis dukungan publik.
Ketiga, kapitalisasi politik menghadapi Pilpres 2019.
Penghentian Reklamasi adalah salah satu janji kampanye terbesar dari Anies-Sandi. Kegagalan memenuhi janji kampanye akan menjadi titik lemah pemerintahannya, melemahkan basis dukungan publik. Figur utama yang menjadi penghambat Anies-Sandi memenuhi janjinya adalah Luhut.
Dengan menggunakan kosa kata pribumi, maka Anies membuat Luhut harus berhadap-hadapan langsung dengan mayoritas masyarakat yang merasa terpinggirkan. Reklamasi dipersepsikan sebagai sebuah simbol kelompok taipan rakus. Mereka inilah yang dibela Luhut. Sebaliknya kelompok nelayan yang menjadi korban reklamasi adalah simbol rakyat Indonesia yang terpinggirkan.
Kosa kata pribumi membuat persepsi publik terhadap Anies berubah. Jika sebelumnya selalu dipersepsikan sebagai representasi umat Islam, maka Anies telah menggeser basis dukungannya menjadi lebih luas.
Pribumi tidak hanya mengacu kepada mereka yang beragama Islam—termasuk keturunan Arab dan Cina– tetapi juga etnis lokal di seluruh Indonesia. Dengan begitu Anies mulai merangkul kelompok-kelompok di luar Islam, dan menjadi solidarity maker.
Bagi Jokowi posisi ini sungguh tidak menguntungkan. Bagaimanapun publik melihat Luhut adalah representasi Jokowi. Pemihakan Luhut kepada kelompok taipan pengembang, bisa menjadi isu politik yang sangat merugikan.
Jokowi harus berani memilih. Mempertahankan dukungan investor politik, atau basis konstituen?
Dalam kontestasi pilpres langsung, peran para taipan yang bertindak sebagai penyandang dana, sangat penting dalam menggerakkan mesin kampanye. Sebaliknya basis konstituen juga sangat penting , bahkan lebih penting karena merekalah pemegang hak suara. Apalagi selama ini partai pendukung Jokowi selalu mengklaim sebagai partai wong cilik.