Karena itu mereka bergerak cepat, tidak menunggu waktu terlalu lama. Isu ini digoreng di media massa, terutama media online, dan kemudian menjadi gegap gempita di medsos.
Mereka membayangkan, kasus ini bobotnya sama dengan Al Maidah 51 yang menjatuhkan Ahok dan membawanya ke penjara. Dasarnya cukup jelas. Penggunaan kosa kata pribumi secara resmi dilarang digunakan dalam proses kenegaraan, sesuai dengan Inpres No 26 Tahun 1998 saat presiden dijabat oleh BJ Habibie.
Sebagai pejabat negara Anies dinilai sudah melanggar Inpres. Dan yang lebih berat, Anies telah menyampaikan ujaran kebencian, sebagaimana Ahok dengan ucapannya soal surat Al Maidah 51.
Karena terlalu bersemangat, mereka lupa pada detil fakta. Anies menggunakan kosa kata pribumi dalam konteks kolonial, bukan kekinian. Sejumlah media yang tadinya sempat menggunakan kata pribumi dalam judul beritanya, kemudian segera meralatnya.
Inilah kecerdasan Anies dalam mengemas pesan politik. Dalam sepakbola, apa yang dilakukan Anies adalah sebuah umpan terobosan ke jantung pertahanan lawan. Ahokers yang merasa posisi Anies sudah off side, langsung ramai-ramai melaporkan kepada wasit. Harapannya Anies dihukum, karena melakukan pelanggaran.
Ternyata tak ada yang salah dengan umpan terobosan Anies. Bola panas “pribumi” itu bergerak liar di depan gawang lawan, dan berpotensi menjadi sebuah gol. Semakin digoreng, maka akan semakin menguntungkan posisi Anies.