Dalam pasal 12 disebutkan, seorang penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, ancaman hukumannya dipidana seumur hidup, paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun. Sementara dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Bagaimana dengan pasal 11?
Nah ini lebih asyik lagi.
Ancaman hukumannya paling singkat 1 tahun. Paling lama 5 tahun. Dendanya paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Hukuman mati diatur dalam pasal 2. Tapi ada syaratnya.
Dalam ayat 1 dinyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ayat 2, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam keadaan tertentu ini bersifat interpretatif. Pemerintah menafsirkan bahwa keadaan tertentu itu adalah bencana alam. Sementara Covid-19 bencana non alam.
Benar bahwa Firli tidak secara tegas menyebut Covid-19 bencana non alam. Tapi berbagai pernyataannya terkesan ambigu.
Ketika berbicara di Komisi 3 DPR RI Firli menyatakan, pelaku korupsi dana Covid-19 bisa dihukum mati. Begitu juga ketika berbicara dalam wawancara di sejumlah media.
Sekarang dia mencoba mencari jalan aman. Mengambangkannya dengan kata “tengah mendalami.”
Soal dalam atau tidak dalamnya, lain lagi urusannya. Yang penting tekanan publik bisa diredam.
Firli saat ini tengah menikmati “kesuksesan” KPK menangkap dua orang menteri.
Fakta itu setidaknya bisa meredam sikap skeptis publik terhadap KPK, di bawah kepemimpinannya.
Firli sekarang mengambil alih peran. Dia langsung tampil dalam setiap jumpa pers mengenai OTT Mensos. Sebelumnya ketika OTT Menteri Kelautan cukup diserahkan ke wakilnya.
Dia tengah menikmati sorotan kamera. Sambil berhitung-hitung jangan sampai menggigit tulang yang terlalu keras.
Bagi Firli, bukan bagi penyidik ya, beberapa OTT ini semacam lucky blow, pukulan keberuntungan dalam tinju.
Dia mencoba memanfaatkan second wind, semangat baru setelah sebelumnya limbung terkena hook keras berbagai kasus pribadinya.