Para elit bertemu di ruang-ruang tertutup, menghindari tatapan mata publik.
Dengan format seperti itu, tak ada yang menang dan kalah dalam pemilu legislatif, maupun pilpres. Semua masuk dalam kabinet. Semua kebagian jabatan pimpinan, alat kelengkapannya di MPR dan DPR, dan berbagai jabatan-jabatan lain yang cukup menggiurkan. Bagi-bagi proyek dan bisnis di departemen dan proyek-proyek pemerintah lainnya.
Lupakan perdebatan-perdebatan keras sepanjang masa kampanye. Itu hanya gimmick kampanye. Daya tarik yang membuat rakyat terlena. Membuat rakyat percaya bahwa para calon pemimpin, akan memperjuangkan aspirasi mereka.
Sekarang waktunya baku atur. Bagi kapling dan kesepakatan untuk tak saling mengganggu. “Saya dan kami dapat apa, kamu dan kalian dapat apa?” Semua elit politik happy.
Tak ada yang namanya oposisi. Yang ada bagi-bagi P-O-S-I-S-I. Kalau toh ada yang tersisa di luar kabinet, tidak bisa disebut sebagai oposisi. Posisinya sangat lemah. Tidak signifikan. Oposisi silakan menggonggong, penguasa berlalu.
Sekilas gagasan itu sangat mulia. Menjadi sebuah terobosan jenial mempersatukan bangsa yang kini tengah terpecah dalam dua kelompok besar : Pro 01 dan Pro 02.
Gagasan “mulia” namun absurd ini belakangan banyak dikemukakan oleh kubu paslon 01 dan juga oleh sebagian elit partai pendukung 02.
Mereka tak sabar dan mendorong agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera menyampaikan putusan. Semakin cepat semakin baik. Seperti apa keputusannya, sudah bisa diduga.
Para pembantu utama Jokowi misalnya tak segan-segan memuja-muji Prabowo sebagai negarawan dan championdemokrasi. Elit PDIP sebagai partai pengusung Jokowi-Ma’ruf juga sudah membuka wacana akan menerima dengan tangan terbuka, jika Partai Demokrat, PAN, dan Partai Gerindra bersedia bergabung.
Para petinggi Demokrat sudah menunjukkan sikapnya secara jelas. Bagi mereka Prabowo adalah masa lalu. Jokowi c/q Agus Harimurti adalah masa depan.
Sebagian pengurus PAN juga sudah secara terbuka menyatakan sikapnya ingin bergabung dengan pemerintah. Yang cukup menarik sikap serupa juga sudah muncul di sebagian internal Partai Gerindra. Namun mereka melakukannya secara diam-diam dan dalam kalimat yang bersayap.
Hanya PKS saja yang sejauh ini sudah menyatakan menolak bergabung. Namun melihat dinamika politik yang sangat dinamis, bisa saja terjadi perubahan sikap di menit-menit akhir.
Menjadi oposisi itu berat
Mengapa para elit terkesan sangat ingin cepat melakukan “rekonsiliasi,” atau bahasa tegasnya berkompromi bagi-bagi kekuasaan?
Padahal anggota majelis hakim MK juga sedang menelaah berbagai dokumen. Menganalisis fakta dan bukti di persidangan. Peluang diterima atau ditolaknya gugatan, seharusnya juga sama besarnya.