Hersubeno Arief: Gerakan Mahasiswa 2019, Manusia Bodoh dan Kuda Tunggang?

Begitu lahir sudah terintegrasi dengan dunia digital dan demokrasi sekaligus.

Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda, membuat mereka juga berbeda dalam merespon peristiwa dan keadaan.

Bagi generasi imigran demokrasi, bila sudah masuk ke dunia politik, pemilu sudah dilaksanakan, maka sebuah negara dianggap sudah demokratis.

Persoalan HAM, kebebasan pers, dan berbagai kebebasan individual tidak masuk dalam hitungan.

Mereka beranggapan, indikator kepedulian mahasiswa bila terlibat dalam politik praktis.

Ketika mahasiswa seperti tak peduli ketika generasi yang lebih tua, turun ke jalan selama pilpres, maka  mereka dianggap apolitis.

Bagi generasi Z, demokrasi tidak hanya sebatas parpol dan kontestasi pemilu. Banyak fitur demokrasi  yang seharusnya bisa dimaksimalkan.

Mulai dari kebebasan individu, berekspresi, penghargaan terhadap ras, gender, agama, pemerintahan yang demokratis, sampai penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi dan kolusi.

Hal itu menjelaskan mengapa begitu muncul satu isu bersama, yakni pelemahan KPK, aksi mahasiswa bermunculan. Mulai dari kota-kota besar, sampai dengan kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Isu-isu lain, hanya isu ikutan.

Aparat keamanan, generasi tua tiba-tiba menjadi bingung. Makanya kemudian muncul pertanyaan: Siapa yang menggerakkan? Kok tiba-tiba muncul sangat massif.

Jawaban yang paling mudah,  menoleh pada referensi lama. Gerakan-gerakan semacam ini hanya bisa terjadi bila ada mobilisasi massa. Ada bandar, dan ada yang menunggangi.

Yang tidak mereka pahami, dalam dunia digital, isu-isu semacam itu dengan mudah didesiminasi dan disebarluaskan. Mereka juga dengan cepat berkoordinasi dan membangun gerakan.

Aksi 212 adalah contoh lain, betapa isu populis yang menyentuh kepentingan orang banyak, bisa menggerakkan publik dengan sangat mudah dan cepat.

Jangan dicari-cari, siapa yang menggerakkan, menjadi bandar, dan siapa yang menungganginya. Tidak akan ketemu. Karena memang tidak ada.

Andai saja para orang tua yang curiga ini tak lupa, atau pernah membaca puisi Khalil Gibran.  Mereka tidak perlu mengernyitkan kening. Apalagi  sampai harus nyinyir.

Anakmu, bukanlah milikmu.

Anak adalah kehidupan,

Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.

Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,

Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu

Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. 

end (*)

Penulis: Hersubeno Arief, Wartawan Senior