Menaikkan dan menurunkan iuran BPJS Kesehatan sesuai ketentuan perundang-undangan adalah kewenangan Presiden. Jadi keputusan DPR sesungguhnya tidak punya kekuatan mengikat. Presiden bisa saja mengabaikannya. Itu kalau berani.
Situasinya kini sungguh berbeda. Di tengah beban hidup masyarakat kian berat, tarif listrik naik, harga BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok terus merangsek naik, kenaikan iuran BPJS kesehatan menjadi isu politik yang sangat sensitif.
Bola liar yang akan digoreng habis oleh lawan-lawan politiknya.
Reaksi keras segera bermunculan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan menggelar unjukrasa besar-besaran.
Sejak Senin (2/9/2019) sampai Selasa sore (3/9/2019) di medsos tagar #BatalkanKenaikan BPJS menjadi trending topic.
Penolakan bukan hanya datang dari penentang pemerintah, namun juga dari kalangan pendukung Jokowi.
Sejumlah netizen yang selama ini dikenal sebagai pendukung garis keras Jokowi, ramai-ramai balik badan. Mereka menyatakan kecewa. Ada yang sampai mengusulkan agar Jokowi dimakzulkan (impeach)
Paul Perry Njio Haullussy lewat akunnya mencuit “Sepertinya harus diimpeachment nih sang presiden. Nyesel gua dukung dia dulu.”
Bisa berbahaya
Sikap DPR menolak kenaikan iuran BPJS tidak boleh dianggap main-main. Secara legal tidak mengikat, namun secara politis bisa sangat berbahaya bagi pemerintahan Jokowi.
Kalkulasinya harus benar-benar matang. Kalau sampai dia nekad tetap menaikkan, basis legitimasinya akan semakin rendah. Ditolak DPR, juga ditolak publik. Termasuk para pendukungnya sendiri.
Sebaliknya jika tetap tidak dinaikkan, beban pemerintah akan sangat berat. Difisit APBN akan tambah berdarah-darah. Defisit anggaran saat ini Sudah mencapai Rp 183 Triliun. 48.6 persen dari APBN.
Defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 32,84 triliun. Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, bila tidak dinaikkan maka defisit BPJS Kesehatan setiap tahun akan terus membengkak. Pada tahun 2024, ketika Jokowi mengakhiri jabatannya akan tembus Rp 77,8 triliun.