Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh berbeda.
Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal.
Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di tempat-tempat keramat!
Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan.
Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis.
Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya.
Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat.
Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar aparat negara, sampai money politics.
Dalam banyak kasus, para cukong ini membentuk konsorsium. Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat!
Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial.
Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara.
Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah?
Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp 25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar.
“Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar (03/12/2019).
Pilpres jauh lebih besar
Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh dana sampai triliunan, berapa besar dana untuk capres?
Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang caprespun yang bisa membiayai dirinya sendiri.
Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah menyebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil. Sangat konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya.
Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan biaya saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp 405 miliar.
Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan, pengerahan masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money politics, dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding pilkada.