Target kedua, kalau tidak bisa melakukan black out, maka berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan. Apa yang dilakukan Kompas, dan Media Indonesia masuk dalam kategori ini.
Target ketiga, diberitakan, namun dengan tone yang datar dan biasa-biasa saja. Contohnya pada Republika. Meski dimiliki oleh Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, harap diingat latar belakang koran ini adalah milik umat. Tidak mungkin mereka menempatkan berita ini di halaman dalam, apalagi menenggelamkannya.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi, bila Republika berani mengambil posisi seperti Kompas? Ketika Erick memutuskan bersedia menjadi ketua tim sukses saja banyak pembaca yang sudah mengancam akan berhenti berlangganan. Apalagi bila sampai berani melakukan black out dan framing terhadap berita Reuni 212. Wassalam.
Target keempat tetap memberitakan, tapi dengan melakukan framing, pembingkaian berita. Reuni memakan korban. Contohnya adalah Warta Kota yang membuat judul “Ketua RW Wafat Usia Reuni.” Berita ini jelas terlihat sangat dipaksakan. Satu orang meninggal di tengah jutaan orang berkumpul, menjadi berita yang menarik dan penting? Sampean waras?
Hal yang sama jika kita amati juga terjadi di media online dan televisi. Hanya TV One yang tampaknya mencoba tetap menjaga akal sehat di tengah semua kegilaan. Mereka masih memberi porsi pemberitaan yang cukup layak dan melakukan siaran langsung dari Monas.
Tidak perlu orang yang punya pengalaman di media untuk memahami semua keanehan yang kini tengah melanda sebagian besar media arus utama Indonesia.
Berkumpulnya jutaan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dan juga kota-kota dunia di Lapangan Monas, apalagi pada masa kampanye, jelas merupakan berita besar. Tidak alasan untuk tidak memuat, apalagi mengabaikannnya.
Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa (kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat.