Persoalan khilafiyah (cabang) dalam ibadah seperti qunut, biasanya sering menjadi bahan pertentangan. Kali ini semuanya luruh. Sama sekali tak dipersoalkan.
Ketika kegiatan kampanye dimulai, bendera-bendera parpol pendukung berkibaran. Terlihat bendera Partai Demokrat paling menonjol. Bendera besar parpol besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu terlihat memenuhi areal seputar panggung utama. Disusul PKS, PAN, dan Partai Berkarya. Bendera Partai Gerindra malah tidak terlihat terlalu mencolok.
Diluar parpol pendukung juga terlihat bendera PPP dan bendera Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI). Bendera gerakan yang dipimpin oleh mantan Presiden PKS Anis Matta itu kehadirannya cukup mencolok. Anis Matta bersama keluarga juga terlihat hadir di GBK.
Semuanya kompak, duduk tenang, melupakan perbedaan politik dan kepentingan masing-masing.
Muak Terhadap Kedzoliman
Bagaimana kita memahami “anomali” yang terjadi di GBK ini. Bagaimana kita menjelaskan, apa motivasi besar yang bisa menggerakkan mereka begitu sangat militan?
Bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena aneh yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan demokrasi Indonesia pasca reformasi.
Fenomena ini tidak kita temukan pada masa kampanye figur populis seperti SBY yang pernah menjabat presiden selama dua periode. Juga tidak kita temukan pada kampanye Jokowi pada Pilpres 2014, apalagi Pilpres 2019.
Ratusan ribu, bahkan jutaan orang datang berbondong-bondong, rela merogoh kantong sendiri. Menyewa di hotel-hotel berbintang sampai kelas melati di sekitar kawasan Senayan agar bisa datang lebih awal. Bermalam di berbagai masjid, musholla, dan sebagian bermalam di tenda-tenda, dan tempat terbuka di sekitar GBK.
Sejumlah pengusaha dan profesional menyediakan kantor-kantor mereka untuk penginapan sementara. Menyiapkan logistik berupa nasi bungkus, roti, jajanan dan minuman untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada massa yang hadir. Dan yang lebih mengejutkan mereka juga mengumpulkan uang dalam kantung plastik, disumbangkan untuk kampanye Prabowo-Sandi.
Fenomena ini juga sangat sulit untuk kita jelaskan secara rasional. Kedermawanan dan kerelawanan yang luar biasa tinggi tanpa diorganisasi. Semua bergerak serentak dan sendiri-sendiri.
Jelas merupakan kesimpulan yang salah jika hanya melihatnya dari sisi kontestasi Pilpres 2019. Kontestasi antara Jokowi Vs Prabowo. Cara pandang semacam ini terlalu sempit.
Fenomena ini adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap rezim kartel politik dan kartel ekonomi yang mengendalikan kekuasaan. Perlawanan rakyat terhadap oligarki yang bersembunyi dalam kegelapan di belakang Jokowi. Melakukan perlawanan terhadap oligarki yang mendudukkan Jokowi dalam singgasana kekuasaan.
Anomali di GBK adalah simbol kesadaran rakyat yang bangkit melawan kedzaliman dan ketidak-adilan. Simbol rakyat yang muak melihat ekonomi Indonesia yang terus memburuk. Muak melihat negara besar, dengan kekayaan alam yang melimpah, namun rakyatnya hidup menderita.
Muak melihat negara yang besar dan pernah jaya, menjadi kekuatan pinggiran yang tidak diperhitungkan oleh negara tetangga, apalagi dunia. Muak melihat sekelompok kecil orang yang menguasai hampir seluruh kekayaan Indonesia.
Muak melihat sekelompok kecil oligarki yang menyetir seorang kepala negara yang lemah dan tak punya visi yang jelas, mau dibawa kemana bangsa ini.
Muak melihat bangsa ini dipecah belah dan dibenturkan antar-sesama anak bangsa. Muak karena ulama dan umat beragama yang menjalankan keyakinannya, dicap sebagai ekstrim, radikal, anti NKRI, dan Pancasila.
Muak karena sekelompok orang termasuk Sang Presiden merasa paling Pancasilais, paling NKRI. Sementara kelompok yang tidak mendukungnya dianggap anti Pancasila dan anti NKRI.
Mereka unjuk kekuatan, melakukan perlawanan dalam damai dan riang gembira. Inilah people power, ala Indonesia! []
Penulis: Hersubeno Arief, Pemerhati Ruang Publik.
BEST SELLER BUKU PEKAN INI, INGIN PESAN? SILAHKAN KLIK LINK INI :
https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-diponegoro-1825-pre-order-sgera-pesan.htm