Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman ditiadakan.
Kawasan Monas juga ditutup untuk publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan.
Lucunya beberapa kepala daerah seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan Car Free Day di Jalan Ahmad Yani. Padahal lokasinya sangat jauh dari tempat pelantikan.
Bupati Bogor Ade Yasin mengancam guru dan orang tua yang pelajar atau anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan.
Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjukrasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai saat pelantikan Ahad (20/10).
Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi.
Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo.
Anomali ketiga, TNI dan peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan untuk memantau keamanan dari udara.
Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta.
Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang akan menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.”
Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Situasi keamanan ketertiban masyarakat adalah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI harus menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa.
Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.”
Di twitter seruan #MatikanTVSeharian memuncaki trending topic.
Mereka tak peduli, siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau jadi wapres, apalagi siapa yang mau jadi menteri.
Situasinya berbeda jauh dengan pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman dan MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan.
Jokowi bahkan sempat melepas jasnya dan turun dari kendaraan menyalami warga.
Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan akan bergabung dalam kabinet.
Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri.
Tak heran bila banyak rakyat yang kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “Kalau begini ngapain harus pilpres segala?”
Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan.
Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tak perlu melibatkan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka.
Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara. end (*end)
*Penulis: Hersubeno Arief