PricewaterhouseCoopers (PwC) misalnya meramalkan pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi peringkat kelima kekuatan ekonomi dunia di bawah Cina, Amerika, India, dan Jepang.
Sementara lembaga riset yang berbasis di London, Inggris Centre for Economics and Business Research (CEBR) menyatakan Indonesia akan masuk dalam 10 besar kekuatan ekonomi dunia.
“Semua itu hanya obsesi dari para akademisi, para wartawan dan lembaga think tank,” tegas Robinson.
Mengapa Robinson bisa sampai pada kesimpulan yang sangat bertolak belakang? “Tidak terlihat adanya intensi dan kapasitas pemimpin politik dan ekonomi untuk memproyeksikan kekuatan Indonesia menjadi salah satu penyebabnya,” kata Robinson sebagaimana dikutip Kompas.com (5/7/16).
Soal intensi (niat) dan kapasitas pemimpin politik ini menjadi sangat relevan ketika sejumlah lembaga survei memprediksi Jokowi saat ini masih tetap merupakan kandidat terkuat sebagai capres 2019. Artinya bila situasi politiknya tidak berubah, bangsa Indonesia harus bersiap menjalani masa lima tahun ke depan tetap bersama Jokowi.
Bagaimana mungkin mimpi terbang tinggi menjadi kekuatan dunia itu bisa tercapai, bila niat saja tidak punya. Apalagi ditambah tidak adanya kapasitas pada pemimpinnya.
Pertanyaan tentang kapasitas ini belakangan semakin menguat dengan munculnya opini dari wartawan senior John Mcbeth. Dia menulis sebuah artikel berjudul “Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths”. Sebuah artikel yang menuding Presiden Jokowi melebih-lebihkan fakta tentang keberhasilan program kerjanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014, target pertumbuhan ekonomi tidak pernah tercapai.