Pada bulan November 2017 Banser membubarkan pengajian aktivis HTI Felix Siauw di Bangil, Jatim. Felix Siauw kembali menjadi sasaran aksi Banser ketika akan menjadi penceramah di masjid Balaikota DKI Jakarta, Juni 2019.
Ustad berjuta umat Abdul Somad juga menjadi sasaran cekal Banser. Pada bulan Agustus 2018, ribuan anggota Banser di Jepara, Jateng menggelar apel menolak kedatangannya.
Da’i muda Hanan Attaki juga pernah menjadi korban aksi Banser. Di Tegal, Jateng pengajian ustad yang dikenal dengan gerakan Pemuda Hijrah dibubarkan.
Aksi Banser ini mendapat banyak kecaman, termasuk dari kalangan internal NU. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal meminta agar GP Ansor tidak semena-mena.
Menjelang Pilkada DKI 2017 Banser juga berdiri berhadap-hadapan dengan kelompok umat Islam yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas malah memberi gelar “Sunan” kepada Ahok. Atas keberhasilannya mengubah kawasan lokalisasi pelacuran Kalijodo, Yaqult menyebut Ahok pantas mendapat gelar sebagai Sunan Kalijodo. Nama ini mirip dengan nama salah satu tokoh penyebar Islam di Indonesia, Sunan Kalijaga.
Pada Pilpres 2019 Banser yang selalu menyerukan “NKRI Harga Mati” menjadi salah satu pendukung garis keras pasangan Jokowi-Ma’ruf. Pada aksi protes kecurangan pilpres di depan Gedung Bawaslu 21-22 Mei, Yaqut mengklaim siap mengerahkan 5 juta anggota Banser membantu aparat keamanan.
Sering berseberangan dengan kelompok Islam, Banser justru memiliki reputasi lebih dekat dengan umat beragama lain. Mereka selalu hadir “mengamankan” gereja pada hari Natal dan peringatan-peringatan keagamaan agama lainnya.
Tak heran bila Gubernur Papua Lukas Enembe menyampaikan protes keras kepada Gubernur Jatim Khofifah. Sebagai tokoh Muslimat NU mengapa dia tak mengerahkan Banser menjaga asrama mahasiswa Papua?
(Adu domba)
Dengan track record semacam itu, menjadi tanda tanya besar mengapa orang Papua justru minta Banser dibubarkan. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta bahwa nama Papua justru dikembalikan pada masa Presiden Gus Dur, tokoh besar NU.
Sebelumnya pulau di ujung Timur Indonesia oleh pemerintah Orde Baru diberi itu nama Irian Jaya. Diubah dari nama sebelumnya Irian Barat.
Kalau mau dicari-cari, satu-satunya penjelasan yang rada masuk akal mengapa rakyat Papua meminta Banser dibubarkan, barangkali adalah sikap mereka yang sering mengklaim dan meneriakkan yel-yel : Pancasila! NKRI Harga Mati! Sementara sebagian orang Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Soal ini tampaknya harus dibikin terang. Apakah ada kaitannya Banser dengan aksi rasisme di Jatim. Mengingat Jatim adalah basis terbesar Banser.