Hegemoni Ekonomi Barat Versus Ekstrimisme

 

Delapan tahun setelah peristiwa serangan 11 September 2001, Barat masih menganggap Islam sebagai ancaman. Barat masih mengkhawatirkan adanya kelompok-kelompok ekstrimis Islam dan menilai umat Islam terbelakang dan mudah menerima mentah-mentah apa yang dikatakan para pemuka agama mereka. Tapi Barat melupakan bahwa munculnya ekstrimisme tidak selalu berkaitan langsung dengan doktrin agama, tapi kebanyakan karena adanya ketidakadilan yang dilakukan negara-negara Barat terhadap negeri-negeri Muslim dan persoalan sosial yang berakar pada masalah perekonomian, seperti regulasi ekonomi yang menghambat berkembangnya wirausaha, pengisolasian suatu komunitas masyarakat dari perekonomian global, kesempatan kerja terbatas, jasa pelayanan yang minim dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Menurut Vali Nasr, seorang profesor bidang politik di Tufts University, AS, jika dilihat sebagai salah satu faktor penyebab munculnya ekstrimisme, persoalan ketimpangan sosial dan ketidakadilan selayaknya bisa diatasi untuk mencegah munculnya ekstrimisme itu sendiri. Dan harapan perubahan itu ada, khususnya di dunia Islam yang selama ini dituding sebagai tempat subur lahirnya para ekstrimis Muslim seiring dengan trend makin besarnya jumlah kalangan "kelas menengah" di kalangan masyarakat Muslim di seluruh dunia.

Kalangan kelas menengah ini, kata Nasr dalam bukunya yang akan segera terbit "Forces of Fortune: The Rise of a New Muslim Middle Class and What it Means for Our World", menunjukkan adanya perbaikan dari sisi sosial dan sisi perekonomian di kalangan dunia Islam. Meski Nasr, sendiri mengakui keberadaan masyarakat kelas menengah ini bukan jaminan dan satu-satunya solusi untuk mengikis habis ekstrimisme sampai ke akar-akarnya.

Sejak lama, tulis Nasr, standar kehidupan masyarakat Muslim di banyak negara dunia Islam mengalami penurunan. Meningkatnya populasi usia muda makin menekan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sudah rendah. Sebuah perkiraan menyebutkan, pada tahun 2020 dunia Arab harus menyediakan 100 juta lapangan pekerjaan, tapi prospek untuk memenuhi kebutuhan itu tidak terlalu cerah. Tingkat pengangguran tetap tinggi dan mereka yang sedikit beruntung hanya mendapatkan pekerjaan kasar atau jadi pegawai rendahan. Mobiltas sosial tersendat, pada saat yang sama ektrimisme berkembang menjadi amarah dan keputusasaan. Anak-anak muda Muslim yang resah mengalihkan perhatiannya pada radikalisme yang dianggap lebih memberikan makna bagi kehidupan keseharian mereka. Kondisi ini makin memprihatinkan karena para orang tua yang sama putus asanya memberi "restu" atas keterlibatan putera-putera mereka dalam gerakan radikal.

Nasr pernah bertemu dengan seorang bapak di Pakistan yang mengatakan,"Biarlah anak lelaki saya menjadi martir. Tak ada yang bisa diharapkan untuknya di sini. Tidak ada ada masa depan. Setidaknya, jika ia meninggal dalam jihad, dia akan memberikan kehormatan bagi keluarganya."

 

Kelas Menengah Muslim

Di tengah keputusasaan itu, terjadi perubahan di negara-negara Muslim seperti Turki, Dubai, Malaysia bahkan di Mesir, Tepi Barat dan Pakistan sendiri. Negara-negara ini mulai memberi ruang bagi wacana perdagangan global dan kelonggaran ini dimanfaatkan oleh para pengusaha dan bisnisman lokal untuk mengembangkan usahanya dan mencari keuntungan. Dari sinilah, tulis Nasr, mulai bermunculan kalangan kelas menengah baru di duia Islam. Jika pada tahun 1960-an, di negara-negara seperti Turki, Iran atau Pakistan rata-rata tidak lebih dari sepertiga penduduknya yang tinggal di perkotaan dan rata-rata hanya enam persen dari populasi negara itu yang masuk katagori kelas menengah.

Tapi sekarang, hampir 2/3 populasi negara-negara itu tinggal di wilayah-wilayah urban dan jumlah kalangan kelas menengahnya meningkat dua kali lipat. Jika definisi kelas menengah itu meliputi mereka yang memiliki pendapatan tetap dan mampu membelanjakan sepertiga dari pendapatannya untuk kebutuhan di luar kebutuhan pokok, maka jumlah kelas menengah di Pakistan misalnya, mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk negeri itu dan di Turki kelas menengahnya mencapai 30 persen dari total populasi. Prosentase ini akan bertambah besar jika definisi kelas menengah diperluas dengan mereka yang menerapkan nilai-nilai modern dalam keluarga, misalnya cuma menginginkan sedikit anakdan berinvestasi untuk kebutuhan hidup di masa depan. Di Iran, jumlah kelas menengah dalam pautan definisi ini diperkirakan akan mencapai 60 persen dari total penduduknya.

Untuk satu alasan, kelompok masyarakat menengah ini mewakili sebuah harapan bagi perbaikan kondisi masyarakat dan senjata ampuh untuk mengikis ektrimisme. Meski masih ada pertanyaan, apakah kelompok kelas menengah ini tidak justeru menjadi salah satu pendukung ekstrimisme, belajar dari kasus serangan 11 September 2001dimana sebagian tersangkanya justeru datang dari kelompok muslim kelas menengah. Persoalan umum yang terjadi di dunia Islam sampai saat itu, kata Nasr, kelompok muslim yang tingkat ekonominya menengah tidak langsung berhubungan dengan pasar dan perubahan itu bisa dilakukan jika terjadi pertumbuhan modal lokal dan integrasi dengan perekonomian dunia. Ia menilai, saat ini, negara Turki adalah salah satu negara Muslim yang sukses mengkombinasikan demokrasi dengan perekonomian global yang terintegrasi.

Bersamaan dengan meningkatnya jumlah kelompok masyarakat kelas menengah di dunia Islam, muncul kebutuhan baru akan sistem ekonomi Islam yang memadukan antara sistem tradisional dan moderat, dimana mereka bisa mengambil keuntungan dari sistem kapitalisme liberal. Umat Islam kini makin peduli akan produk makanan halal dan transaksi-transaksi ekonomi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kondisi inilah yang makin mendekatkan dunia Islam dengan perekonomian global. Meski masih dalam hitungan kecil, saat ini sudah ada hampir 300 bank Islam dan perusahaan investasi yang beroperasi di 75 negara. Industri perbankan syariah dan pasar obligasi syariah terus menunjukkan trend yang meningkat dan dipekirakan pada tahun 2015 mendatang assetnya mencapai 4 triliun dollar.

 

Keserakahan Barat

Persoalannya, jumlah Muslim yang masih hidup dalam keterbatasan dan dari kelas sosial bawah masih jauh lebih banyak. Kelompok kelas menengah juga kebanyakan dari kalangan birokrasi yang menggantungkan hidupnya dari gaji yang diberikan negara. Kondisi ini, menurut Nasr, masih membuka peluang adanya ektrimisme dari kalangan masyarakat kelas menengah. Tapi ekstrimisme itu muncul lebih kepada rasa marah dan kekritisian mereka terhadap kebijakan-kebijakan Barat yang telah menimbulkan kesengsaraan dimana-mana, termasuk di sejumlah negara Muslim.

Nasr dalam bukunya menulis, Barat selama ini menunjukkan ambisinya yang besar untuk menjaga kepentingan-kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Tapi sebenarnya, Barat sendiri hanya memiliki sedikit bisnis yang riil di kawasan itu. Bisnis terbesar Barat di Timur Tengah hanya minyak dan penjualan senjata. AS sudah melakukan kesepakatan perdagangan bebas dengan Yordania dan Maroko, tapi kesepakatan itu masih tidak sebanding jika dibandingkan dengan jumlah produk-produk negara Arab yang boleh masuk ke AS.

Jadi, kata Nasr, jika negara-negara Muslim belum secara penuh mau menerapkan nilai-nilai yang moderat dan kapitalis, itu bukan karena pandangan-pandangan fundamentalis yang oleh Barat selalu dikait-kaitkan dengan Islam. Tapi karena kebijakan perekonomian Barat yang timpang dan masih sedikitnya kelompok kelas "pedagang" yang diberi akses untuk memimpin proses ke arah itu.

Untuk mendorong revolusi di kalangan kelas menengah Muslim, menurut Nasr, Barat harus membantu perekonomian negara-negara Muslim dari cengkeraman negara. Pemerintahan-pemerintahan di negara-negara Muslim juga harus menegakan aturan hukum, melakukan checks and balances, membuka akses bagi investasi asing, mempelancar arus masuk barang dan sumberdaya dan meminimalkan regulasi. Di sisi lain, Barat juga harus membuka pasarnya dengan seluas-luasnya bagi produk-produk dari negara Muslim dan memastikan bahwa investasi yang ditanamkan Barat di dunia Islam adalah untuk mendukung perubahan itu.

Lebih lanjut Nasr menyatakan, perubahan ini butuh waktu lama, tapi bukan hal yang tak mungkin sepanjang negara-negara kaya di dunia mau membangun kerjasama yang jujur dan saling menguntungkan dengan kelompok "kelas menengah" di dunia Islam dan berniat baik untuk membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. (ln/NW)