Penjualan ini dilakukan untuk mendapatkan dana segar guna membangun jalan tol yang baru. Penguasa membanggakan kebijakan ini sebagai “daur ulang” tol. Bangun-jual, bangun-jual ini dilakukan karena penguasa tidak punya uang untuk membangun tol baru.
Cara ini tentu sangat menyenangkan investor karena dalam jangka panjang merekalah yang menikmati keuntungan. Mereka tak perlu repot-repot mengerjakan proyek dengan segala tantangannya. Kebijakan “daur ulang” ini hampir pasti akan menguntungkan pemodal asing juga. Sebab, untuk “membeli” proyek-proyek besar itu diperlukan dana miliaran dollar.
Kalau tidak disertai regulasi oleh pemerintah, hampir pasti pengelolaan jalan tol oleh swasta penuh akan mengutamakan keuntungan perusahaan. Laba yang sebesar-besarnya. Inilah misi mereka. Dengan prinsip ini, mereka pasti akan menekan biaya operasional, termasuk ongkos perawatan. Sebaliknya, pengelola swasta pasti akan menggunakan istilah “penyesuaian tarif” untuk memperbesar keuntungan.
Dalam keadaan “kepepet” modal di pihak penguasa seperti sekarang, jangan-jangan investor calon pembeli jalan tol akan mendiktekan ketentuan kontrak dengan pihak pemerintah. Semoga saja tidak demikian. Sebab, pengguna jalan berhak menerima jaminan prima dalam keselamatan pemakaian jalan tol. Selain itu, banyak pengguna jalan bebas hambatan adalah para pelaku usaha kecil yang memerlukan pungutan minimal untuk menopang bisnis mereka.
Pembangunan infrastruktur memang sangat diperlukan, dan tepat dilakukan. Tetapi, pembangunan masif yang dilakukan dengan memaksakan diri di luar kemampuan keuangan negara, menyebabkan kepanikan dalam penyediaan dananya. Penjualan aset segar, kemudian menjadi salah satu jalan pintas.
Itulah sebabnya rakyat tidak punya sebutan lain untuk kebijakan ini kecuali “menjual negara”.
Tetapi, ada bentuk lain “jual negara” yang jauh lebih menakutkan. Yaitu, undangan terhadap investor asing, khusus RRC, yang memberikan keistimewaan kepada mereka untuk membawa sendiri pekerja yang mereka perlukan. Tidak hanya pekerja kunci, malainkan pekerja biasa. Kita bahas khusus isu ini dalam edisi berikut, in-sya Allah.(kl/ts)