Sebagai catatan, pada 1996, rasio utang kita hanya 24 persen. Pada masanya, angka ini juga pernah dianggap aman. Padahal, saat krisis mulai terjadi, tahun 1997, akibat inflasi dan jatuhnya nilai tukar, rasionya melonjak menjadi 38 persen. Tahun 1998, rasionya melonjak kembali menjadi 57,7 persen. Antara periode 1999 hingga 2003, rasionya naik lagi menjadi lebih dari 60 persen, masing-masing 85,4 persen (1999), 88,7 persen (2000), 77,2 persen (2001), 67,2 persen (2002), dan 61,1 persen (2003).
Di akhir periode pemerintahan Presiden Megawati, rasio utang kita ada di angka 56,5 persen (2004). Selama sepuluh tahun periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio utang kita berhasil diturunkan hingga tinggal 24,7 persen (2014). Sayangnya, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, rasio utang kita kembali meningkat hingga di atas 30 persen.
Di sisi lain, meski jumlah utang terus meningkat, namun laju kenaikan pendapatan kita jauh tertinggal. Artinya, laju penambahan utang lebih cepat dari kenaikan pendapatan.
Sebagai pembanding, rata-rata rasio pajak (tax ratio) selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY adalah 14,86 persen. Namun, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, rasio pajak kita rata-rata hanya limit 11 persen. Itu sebabnya, rasio utang Pemerintah terhadap pendapatan negarapun jadi meningkat, dari sebelumnya “hanya” 168,25 persen di akhir periode Presiden SBY (2014), menjadi 244,15 persen di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo (2019). Artinya, jumlah utang kita di akhir tahun 2019 sudah 2,5 kali lebih besar daripada pendapatan.
Dengan analisis tadi, klaim jumlah utang kita saat ini masih dalam batas aman bisa membahayakan.
Sepanjang lima tahun lalu, Pemerintah tak hati-hati dalam mengelola keuangan negara, sehingga kita kian terjerumus pada jurang defisit. Saya khawatir, krisis kesehatan akibat Corona ini akan dijadikan dalih oleh Pemerintah untuk mengeruk utang sebesar-besarnya untuk menutupi compang-campingnya keuangan negara, jadi bukan untuk mengatasi krisis yang sedang dihadapi rakyat itu sendiri. Ini baru satu kekhawatiran.
Kekhawatiran saya yang lain adalah pemerintah tidak sanggup membuat terobosan untuk mengatasi krisis yang tengah berlangsung. Padahal, menghadapi krisis yang tidak biasa ini, pemerintah seharusnya berusaha membuat banyak terobosan, dan bukannya terjebak pada solusi konvensional dengan terus-menerus memperbesar utang.
Kalaupun misalnya harus berutang, pemerintah seharusnya mencari opsi lain, selain berutang ke pasar melalui penerbitan surat utang. Sebab, dalam kondisi seperti sekarang ini, surat utang kita tidak ada harganya. Kita harus memberi ‘yield’, atau imbal hasil yang tinggi, agar obligasi kita dibeli investor. Masalahnya, yield yang tinggi itu jelas tidak ekonomis, dan sangat membebani keuangan kita.
Pekan lalu Moody’s Investors Service sudah memperingatkan potensi naiknya beban bunga utang Indonesia. Naiknya yield SUN yang disertai dengan pelemahan kurs rupiah, menurut mereka, akan kian melambungkan beban bunga utang pemerintah ke depan.
Lantas, apa solusinya?
Pertama, sebelum membuka opsi penambahan utang, pemerintah seharusnya merasionalisasi anggaran negara terlebih dahulu. Belanja dan pengeluaran yang tidak perlu, tidak mendesak, harus segera dialihkan untuk mengatasi krisis. Anggaran untuk pemindahan ibukota harus distop termasuk sarana pendukungnya. Pembangunan infrastruktur, misalnya, kecuali dalam bidang kesehatan dan pendidikan, seharusnya dihentikan dulu, dan dialihkan anggarannya.
Kedua, kalaupun terpaksa harus berutang, saya kira kita bisa mencari opsi utang ‘government to government’ saja, di mana dengan bekal hubungan bilateral yang baik, kita mungkin bisa mendapatkan pinjaman dengan bunga yang lebih rendah dan tidak membebani. Carilah opsi pinjaman yang lebih murah dari penerbitan obligasi.
Intinya, pemerintah seharusnya kreatif mencari solusi, dan bukannya terjebak pada solusi tunggal yang mahal dan membebani masa depan. Termasuk membebani seluruh rakyat Indonesia baik kini maupun mendatang. (*end)
Penulis: Dr. Fadli Zon, M.Sc. (Anggota DPR RI, Alumnus London School of Economics (LSE) Inggris)