Pemeriksaan terhadap Boediono dan Sri Mulyani oleh KPK yang akan dilakukan di kantor dua pejabat itu kian memupus harapan adanya keadilan di negeri ini. KPK yang bisa dianggap sebagai harapan terakhir tegaknya keadilan hukum, akhirnya takluk dengan sebuah ‘permainan’ tingkat tinggi.
Sebelumnya, rakyat negeri ini dipertontonkan dengan parade kebobrokan para penegak hukum. Kasus Gayus Tambunan yang bisa dibilang masih berkategori ‘kecil’, sudah mampu menyeret beberapa perwira tinggi Polri, Kejaksaan, dan Kehakiman.
Namun, dalam episod ini, publik akhirnya menerima dengan getir arah penegakan hukum di institusi hukum tersebut. Karena, hukuman yang diberikan kepada para pejabat tinggi hukum tersebut masih bersifat administratif. Ada yang hanya sekadar dimutasi, ada juga yang cuma dapat teguran tertulis.
“Saya menerima teguran tertulis ini,” ucap seorang pejabat Kejaksaan kepada wartawan dalam kasus Gayus Tambunan.
Masih dalam kasus Gayus, fenomena ‘menarik’ juga diperlihatkan institusi Polri. Bayangkan, pemeriksaan yang dilakukan terhadap pejabat Polri yang diduga terlibat tidak seberapa dibanding dengan pemeriksaan terhadap orang yang melapor yang juga petinggi Polri, Susno Duadji.
Publik seperti digiring pada sebuah keadaan yang serba membingungkan sekaligus mengkhawatirkan. Betapa tersiksanya seorang yang melaporkan sebuah kasus korupsi. Kalau seorang pejabat polisi bintang tiga saja mengalami ‘penyiksaan’ seperti itu, bagaimana orang biasa.
Belum lagi kasus ini sirna dari perhatian publik, muncul kasus baru tentang pimpinan KPK yang begitu mengejutkan. Seorang tersangka Anggodo berhasil mempraperadilkan putusan Kejaksaan Agung soal Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit Chandra di PN Jakarta Selatan. Dengan begitu, status Bibit Chandra kini kembali menjadi tersangka.
Dalam kasus ini, publik tersadar betapa rentannya sebuah putusan Kejaksaan Agung yang bernama SKPP itu. Sebagian orang pun akhirnya menaruh curiga kalau SKPP ini merupakan bom waktu yang mungkin sengaja disiapkan sebagai alat bargaining atau tawar menawar terhadap KPK.
Perhatian publik soal penegakan hukum dan korupsi ternyata belum bisa usai. Pada tanggal 27 April lalu, Menkumham, Patrialis Akbar meresmikan sebuah rumah tahanan khusus buat para koruptor.
Rutan ini sangat berbeda dengan rutan umumnya yang biasa sumpek, jorok, dan kotor. Bangunan yang terdiri dari 64 unit kamar ini bisa menampung sekitar 256 narapidana. Atau sekitar 4 orang untuk tiap kamar. Luas kamar berkisar antara 18 hingga 35 meter persegi. Ada mushola, ruang baca, dan ruangan untuk menonton televisi.
Dengan rutan khusus koruptor ini, publik diperlihatkan sebuah pemandangan bahwa hukuman untuk pencuri itu berbeda. Kalau mencurinya dengan cara biasa, hukumannya tidak enak: dikejar dan dihajar massa, penjara sumpek kotor, dan dipenjaranya bisa tahunan. Tapi jika mencurinya dengan cara yang ‘terhormat’ maka hukumannya pun akan juga terhormat.
Fenomena kebobrokan penegakan hukum di atas, bisa memunculkan gunungan kekecewaan publik terhadap keadilan hukum di negeri ini. Begitu banyak skandal korupsi pejabat yang terungkap media massa, tapi penanganannya sangat memprihatinkan dan mengecewakan.
Dampak akumulatif terhadap fenomena bobrok ini di antaranya memperlihatkan kepada publik bahwa hukum sudah tidak lagi memperlihatkan kejelasan. Dari sini, rakyat seolah dikondisikan bahwa hukum adalah apa yang diputuskan oleh rakyat itu sendiri. Orang bisa main hakim sendiri, orang bisa membunuh orang lain yang dianggap pantas dibunuh, dan orang bisa membakar dan menghancurkan sesuatu yang bisa dianggap pantas untuk dihancurkan.
Fenomena ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang muncul sebulan terakhir ini. Antara lain, aksi anarkis mahasiswa terhadap pejabat dan kampus mereka, aksi kekerasan terhadap Satpol PP di peristiwa bentrok makam Habib Hasan Al-Haddad, dan aksi pembakaran warga terhadap bangunan di Cisarua Bogor.
Boleh jadi, berbagai aksi anarkis tersebut bisa berlanjut dan akan menjadi lebih besar jika akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini kian menggunung.
Jika memang akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK jadi memeriksa Boediono dan Sri Mulyani dalam kasus dugaan skandal Bank Century di kantor masing-masing, suatu saat, para menteri, gubernur, bupati, dan pejabat negeri ini yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, sah-sah saja minta diperiksa KPK di kantor mereka, atau mungkin di kamar mereka masing-masing. mnh
foto ilustrasi: detik