Eramuslim – Sesuai namanya, UU Cipta Kerja menciptakan ‘pekerjaan’. Lapangan pekerjaan langsung terbuka untuk proyek renovasi halte Transjakarta. Demonstrasi merespons sahnya UU Cipta Kerja berujung aksi pengerusakan. Halte Transjakarta yang jadi sasaran. Puluhan halte dirusak. Sebagian dibakar. Seperti halte sekitar Bundaran HI.
Respons bermunculan. Tak sedikit yang mengecam aksi pembakaran itu. “Mengapa mengatasnamakan rakyat tapi korbankan fasilitas rakyat?” Kira-kira begitu respons yang bertebaran di media sosial.
Tak sedikit pula masyarakat punya pandangan berbeda. “Halte Transjakarta bisa diperbaiki hitungan hari, tapi hutan yang dibakar butuh bertahun-tahun.” Mungkin argumentasi soal hutan melebar dari substansi pembakaran halte. Namun alasan itu dipakai untuk menganalogikan keberpihakan. Keberpihakan pada isu terkait pengusaha vs buruh.
Ya, bukan hanya saja Halte Transjakarta yang dibakar karena isu seputar pekerjaan. Jutaan hektare hutan di Indonesia juga dibakar demi alasan membuka pekerjaan. Pembakaran dengan alasan cipta kerja. Namun mengancam kehidupan jutaan makhluk lainnya.
Pada tulisan ini, saya tak mau masuk pada perdebatan pro dan kontra aksi. Apalagi masuk pada konteks UU. Karena hanya anggota DPR, pemerintah, dan Tuhan yang tahu.
Masyarakat sipil belum bisa mengakses draft UU. Alasannya masih direvisi. Jadi tak banyak yang bisa dikomentari. Rapat Paripurna kemarin tak ubahnya sidang skripsi. Naskah disetujui tapi ada typo yang mesti direvisi. Begitu katanya.
Bicara soal UU Ciptaker saat ini ibarat bergosip soal pakaian dalam. Ada atau mungkin ada barangnya, tapi tak bisa lihat bentuknya. Dalam tulisan ini saya hanya fokus membahas soal bakar membakar.
Sejarah mencatat hampir di setiap kerusuhan ada pembakaran. Api jadi simbolisasi kemarahan. Jika ditarik jauh ke awal peradaban, manusia mengontrol api untuk alasan kehidupan.