OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
DARI semua tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Profesor Rochmat Wahab (lihat: Edy Channel Youtube).
Bukan berarti pidato tokoh-tokoh lainnya seperti Jumhur Hidayat, Prof Eggi Sudjana, Prof Din Syamsuddin, Jenderal (Purn) Fachrul Rozi, Mayor Jenderal (Purn) Soenarko, kiai besar FPI Sobri Lubis, dan lainnya kurang hebat, namun secara relatif saya harus mencatat pentingnya pidato Prof Rochmat ini.
Ada 3 alasan untuk melihat lebih jauh pidato Prof Rochmat tersebut. Pertama, Prof Rochmat menjelaskan keterkaitan hakim konstitusi dengan neraka. Tentu saja ini urgent diangkat dalam isu keputusan hakim dalam beberapa hari ke depan.
UU Kehakiman, merujuk pada UUD 1945, menyebutkan bahwa keputusan hakim dimulai dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tuhan Yang Maha Esa, dalam terminologi Islam adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga, makna berdasarkan Ketuhanan YME tersebut menghubungkan hakim dengan penciptaan-Nya serta ajaran-Nya yang harus diikuti.
Dalam pidatonya Prof Rochmat menyebutkan dua tugas manusia di muka bumi, yakni sebagai hamba dan sebagai pengemban amanah menjaga bumi (Khalifatullah fil Ardh). Hakim harus menjaga keseimbangan bumi, jangan merusak bumi ini. Ini merupakan introspeksi bagi semua anak bangsa, khususnya umat Islam, yang baru selesai melakukan refleksi diri pada bulan Ramadan.
Sebagai catatan tambahan, mengaitkan keilahian juga sebelum ini telah dilakukan Megawati Soekarnoputri dalam tulisannya di Kompas, dengan mengutip istilah keagamaan “qonaah”, terkait dirinya sebagai sahabat pengadilan MK (amicus curiae).
Menurut Prof Rochmat, dalam Islam ada 3 golongan hakim. Dua golongan pasti masuk neraka. Hanya satu golongan masuk surga.
Golongan yang masuk surga adalah hakim yang mempunyai ilmu atau berkapasitas atau profesional dan sekaligus memutuskan berdasarkan kebenaran. Sedangkan hakim lainnya, yang masuk neraka, adalah hakim berilmu atau profesional tapi culas alias curang.
Hal ini menurutnya terjadi karena banyak hal, di antaranya disogok maupun ditekan. Golongan lainnya hakim bodoh, yang akhirnya membuat keputusan salah.
Alasan kedua, Prof Rochmat sebenarnya seorang kiai besar. Merujuk Wikipedia, istrinya adalah cucu Kiai Wahab Chasbullah, pendiri ormas terbesar Nahdlatul Ulama (NU). Dia sendiri pernah menjadi Ketua NU Yogyakarta dan malang-melintang di organisasi kemahasiswaan NU sejak mahasiswa.
Kehadiran Prof Rochmat dalam demonstrasi kemarin tentu melengkapi klaim pluralitas Islam di Indonesia. Jika Prof Eggi dan Kiai Sobri Lubis saja, misalnya, orang-orang menganggap mereka hanya sebagai representasi kaum militan. Padahal dalam teori totalitas militanisme sebuah gerakan, keikutsertaan tokoh-tokoh “non-militan” merupakan faktor kunci sebagai ukuran dalamnya kemarahan rakyat.
Ditambah lagi dua orang tokoh cawapres yang merasa teraniaya dalam isu kecurangan adalah tokoh utama NU, yakni Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Sudah seharusnya ada tokoh NU dalam sebuah demonstrasi akbar.
Prof Rochmat sepanjang sejarahnya selama ini dikenal sebagai tokoh yang lembut, yang berpikir penuh kalkulasi. Sehingga keputusan atau keterlibatan dia dalam sebuah demonstrasi besar menunjukkan tingkat tragis yang dialami bangsa ini.
Pada pidatonya kemarin, selain urusan neraka yang dikaitkan dengan keberadaan hakim konstitusi, Prof Rochmat mengaitkan jihad fisabilillah pada keterlibatan aksi di depan MK kemarin.
Kosa kata jihad biasanya keluar dari mulut ustaz kelompok militan garis keras. Namun, kemarin itu keluar dari mulut Prof Rochmat sendiri, yang dikaitkannya dengan kelengkapan pilar Islam. Hal ini menunjukkan adanya anomali besar dalam perjalanan bangsa kita. Suatu kecemasan yang merasuk jiwa Prof Rochmat tersebut.
Alasan ketiga, pentingnya pidato Prof Rochmat adalah bangsa ini di persimpangan jalan. Sebagai tokoh pendidikan, yakni anggota Majelis Wali Amanah UPI Bandung dan profesor di UNY, analisis Prof Rochmat pastinya bertumpu pada kualitas sumber daya manusia (human capital).
Selain itu, seorang pendidik, biasanya berpikir analisis “long term”. Prof Rochmat mengatakan bahwa saat ini Indonesia akan menjadi bangsa progresif atau sebaliknya mundur.
Statement seperti ini adalah sebuah assessment berbahaya. Sebab, semua kita tahu hampir 79 tahun kita merdeka, kita terjebak pada bangsa ber-IQ rendah, atau rata-rata 78,49 (lihat World Population Review 2024), di bawah Myanmar, Kamboja, dan Vietnam, serta terjebak/dijebak dalam “pengemis bansos”.
Dengan demikian, kebangkitan bangsa ini diperlukan sekarang, hanya saatnya sekarang, yakni melalui spirit perubahan. Sebuah langkah membelokkan arah bangsa ke depan.
Menurut Prof Rochmat, harus lebih banyak hakim MK yang mengambil keputusan benar. Jika secara teori hakim masuk neraka dua kali lipat dibandingkan masuk surga, dengan dorongan kaum idealis, seharusnya yang masuk surga lebih banyak dua kali lipat. Dengan demikian bangsa ini akan selamat nantinya.
Prof Rochmat Wahab, tokoh pendidikan, telah merujuk pendapat Rasulullah SAW, bahwa secara teoritis 2/3 hakim masuk neraka. Hal ini berdasarkan penggolongan hakim dalam Islam, yakni sepertiga masuk surga adalah yang berpengetahuan atau profesional dan memutuskan dengan kebenaran. Sedangkan lainnya, pintar tapi culas serta hakim bodoh.
Aksi demonstrasi Jumat Akbar di depan MK kemarin merupakan panggilan jihad fisabilillah sebagai tanggung jawab keimanan manusia menjaga bumi dari kerusakan. Khalifatullah fil ard.
Sebagai dedengkot Nahdlatul Ulama, Prof Rochmat adalah orang lembut yang selama ini tidak banyak dikenal sebagai tokoh sentral bangsa kita. Namun, kehadirannya kemarin dan pidatonya telah membuat landskap perjuangan kaum perubahan semakin jelas, ideologis, dan plural.
Semoga saja para hakim MK memikirkan teriakan orang-orang idealis, seperti Prof Rochmat, sebagai bagian spiritual dalam pengambilan keputusan hakim agar KPU melakukan pemungutan suara ulang, sehingga kita menemukan pemimpin bangsa secara hakiki.
Namun, jika hakim MK culas atau bodoh, biarlah mereka nantinya menjadi penghuni neraka jahanam.
(Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle)
Misal putusan tdk mendiskwalifikasi yg sdh jelas aturan ditabrak artinya konstitusi hanya sbg simbol dan demokrasi pancasila hanya slogan.
Dan liatlah setelah itu kariernya dan hidupnya naik dunia menjadikan sikap futur istidraj