Haedar Nasir Versus LD-PBNU dalam Merespon Program Deradikalisasi Rezim Jokowi

Oleh : Budi Nurastowo Bintriman

Baru-baru ini, Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (LD-PBNU) mengadakan Rakernas. Tentu ada beberapa tema yang dibahas di dalamnya. Namun ada satu hal yang menarik perhatian publik, yaitu respon NU terhadap fenomena intoleransi, ektremisme, radikalisme, dan terorisme.

Isu-isu tersebut juga menjadi perhatian bagi Haedar Nasir. Perhatiannya tersebut berwujud dalam pidato pengukuhan profesornya dalam bidang sosiologi. Ia memberi judul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”.

Antara LD-PBNU dengan Haedar Nasir ternyata banyak perbedaan, bahkan pertentangan. Maka perbedaan dan pertentangan tersebut menjadi sangat menarik pula untuk diangkat ke publik. Semoga tulisan ini mendewasakan, mencerdaskan, dan mencerahkan bangsa ini, dan umat Islam ini.

Atas rumusan-rumusan yang terpublikasi (yaitu : ekstremisme, radikalisme, dan terorisme) yang hendak diberantas, tampak nyata terasa, bahwa LD-PBNU lebih fokus menyasar ke Islam. Ini bisa dirunut dengan istilah-istilah yang dimunculkan, seperti : wahabi, takfiri, tuduhan bid’ah, hijrah fest ataupun hijab fest.

Ditambah lagi, LD-PBNU merujuk pernyataan Menkopolhukam  Mahfud MD, bahwa ajaran wahabi sama sekali tidak cocok dengan corak, kultur, dan karakter umat Islam Indonesia. Dan Said Aqil Siraj menyatakan, bahwa ajaran wahabi adalah pintu masuk terorisme di Indonesia.

Sementara bagi Haedar, fenomena intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme mempunyai spektrum universal. Artinya semua ajaran entah itu agama, kepercayaan, filsafat dan lain sebagainya mempunyai peluang yang sama untuk terhinggapi penyimpangan-penyimpangan tersebut. Itu bukan melulu ada dalam Islam saja.

Di sini tampak jelas, bahwa LD-PBNU terlalu menyederhanakan persoalan. Akibatnya bisa terjadi distorsi yang justeru menyesatkan. Haedar mengistilahkannya justeru terjadi “bias islamophobia”.

Kemudian LD-PBNU mengusulkan kepada pemerintah agar lebih menggencarkan lagi program deradikalisasi dengan istilah Da’i Kamtibmas dan Satgas Da’i Maritim. Dan ke sini-sininya, LD-PBNU menawarkan kerjasama NU-Polri untuk program deradikalisasi pemerintah.

Istilah “Da’i Kamtibmas” dan “Satgas Da’i Maritim” sangat berbau pendekatan keamanan-militeristik. Maka itu seolah mengkonfirmasi apa yang ditengarai oleh Haedar Nasir. Cara-cara rezim Joko Widodo dalam menghadapi isu intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme masih sama dengan cara-cara rezim Orla dan rezim Orba, yaitu dengan pendekatan keamanan-militeristik.