“Tidak adanya sistem negara yang menjamin kepastian kebijakan yang berjangka panjang, berkelanjutan, terkonsepsi, terencana dan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan kebutuhan dan kemampuan adalah sebab utama mangkraknya sebuah projek padat modal dan berjangka panjang”.
Mangkraknya sebuah proyek juga disebabkan oleh kejahatan korupsi yang dibungkus dengan cover pembangunan infrastruktur. Di era Pemerintahan SBY dibangun sejumlah projek infrastruktur mercusuar, seperti pembangunan fasilitas olahraga (PON, Sea Games, dll.) telah terbukti direncanakan sebagai cover semata untuk menciptakan alasan dalam merampok uang negara.
Sebagai contoh pembangunan fasilitas olahraga untuk PON di Balikpapan dan Samarinda Kalimantan Timur (2008), pembangunan fasilitas olahraga untuk SEA Games di Palembang Sumatera Selatan (2011), serta pembangunan fasilitas olahraga untuk PON di Pekanbaru Riau (2012) yang memangsa puluhan hingga ratusan triliun anggaran (APBN dan APBD).
Selain dikorupsi anggarannya, pembangunan fasilitas olahraga di berbagai daerah tersebut terasa belum menjadi kebutuhan di tengah masyarakat yang masih miskin dan menganggur. Kenyataannya setelah pelaksanaan event olahraga, fasilitas olahraga tersebut kini dalam kondisi terbengkalai tak bermanfaat untuk masyarakat setempat.
Stadion Palaran di Kalimantan Timur misalnya, yang dibangun untuk pelaksanaan PON 2008, diklaim paling megah di Indonesia, empat tingkat dengan berkapasitas 50 ribu penonton, yang dibangun di atas lahan seluas 46 hektare, dengan menggunakan anggaran negara sebesar Rp. 5 triliun, kini keadaannya gelap gulita, temboknyan mulai retak, ditumbuhi rumput ilalang, dihuni oleh ular, kodok, menjadi rumah hantu dan tempat jin buang anak. Terakhir kali pertandingan sepak bola besar dimainkan di stadion tersebut pada Mei 2010.
Kenyataan mangkraknya sejumlah proyek infrastruktur warisan pemerintahan SBY pernah disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Ketika masih menjabat Kepala Staf Kepresidenan, Luhut menyampaikan ada sekitar 22 proyek infrastruktur yang mangkrak selama empat tahun lalu di era Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai US$ 11 miliar atau sekitar Rp 143 triliun, padahal pemerintah sudah membayar komitmennya (tempo.co, 25 Juni 2015).