[oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si]
Sekilas Goyang Oplosan
Siapa tak kenal dengan goyang yang tengah populer di TV ini? Bahkan tiap hari kita dapat menyaksikannya dalam program pada sebuah stasiun televisi swasta. Atau bagi yang sering menjadi penumpang bis malam di wilayah Pantura, lagu goyang oplosan ini sebenarnya tak asing. Karena memang sering diputar sebagai hiburan di bis-bis tersebut.
Lagu goyang oplosan kini mungkin sangat ‘beruntung’ karena telah menjadi sebuah fenomena. Khususnya setelah dinyanyikan oleh seorang artis ibukota. Asal tahu saja, debut lagu tersebut berawal dari panggung orkes daerah yang tentunya jauh dari konsumsi publik secara nasional.
Nah, bagi yang pernah mencermati liriknya, lagu goyang oplosan ini tidak berbahasa Indonesia melainkan bahasa Jawa. Berikut ini lirik lagunya:
Opo ora eman duite gawe tuku banyu setan
Opo ora mikir yen mendem iku biso ngrusak pikiran
Ojo diteruske mendeme
Mergo ora onok untunge
Yo cepet lerenono mendemmu
Ben dowo umurmu
Reff :
Oplosan
Oplosan
Oplosan
Sawangen kae konco koncomu akeh do podo gelempangan
Ugo akeh sing kelesetan ditumpakake ambulan
Yo wes cukup anggonmu mendem
Yo wes cukup anggonmu gendeng
Do mari mario yo leren lereno
Ojo diterus terusno
Reff :
Tutupen botolmu Tutupen oplosanmu
Emanen nyawamu ojo mbok terus teruske mergane ora onok gunane
Oplosan
Oplosan
Oplosan
Opo ora eman duite gawe tuku banyu setan
Opo ora mikir yen mendem iku biso ngrusak pikiran
Ojo diteruske mendeme
Mergo ora onok untunge
Yo cepet lerenono mendemmu
Ben dowo umurmu
Oplosan
Oplosan
Oplosan
Bagi yang paham dengan bahasa Jawa, harus diakui bahwa isi lagu ini sebenarnya mengandung niat baik. Karena liriknya mengajak untuk menghentikan kebiasaan ‘mendem’ (mabuk akibat minuman keras). Apalagi jika minuman kerasnya hasil oplosan, jelas makin berbahaya.
Lihat saja, hingga akhir Januari 2014 lalu, pemberitaan miras oplosan, cukup meramaikan media massa. Bahkan hampir setiap kasus memakan korban jiwa. Miras ini menimbulkan sensasi awal berupa perasaan terbakar. Disamping itu, juga menyebabkan gagal ginjal, katarak karena pupul mata membesar, rusaknya lambung, metabolisme tubuh menurun, rusaknya saluran pencernaan, enzim dalam tubuh rusak, kematian jaringan dan bisa menyerang otak, hingga akhirnya terjadi kegagalan sistem saraf pusat. Semakin sering mengonsumsi miras oplosan yang dicampur dengan metanol maka tubuh makin lama akan makin rapuh akibat kerusakan yang terjadi pada organ vital (health.liputan6.com, 07/01/2014).
Cukupkah Lirik Berisi Niat Baik?
Harus diketahui, di balik kebaikan isi liriknya, goyang oplosan yang asli dalam panggung orkes daerah itu sungguh bermuatan goyang erotis. Untuk hal ini, boleh ditanyakan secara langsung kepada penduduk Jawa, khususnya daerah Pantura. Atau bisa juga ditanyakan kepada para penumpang bis malam tadi.
Bukti keerotisannya dari sejumlah video rekaman penampilan orkes dan penyanyi di panggung daerah tersebut. Sementara yang berada di TV, sebenarnya itu sudah dimodifikasi. Karena sisi erotisnya dapat dikatakan sudah berkurang, atau mungkin tak terlalu nampak. Ya tentunya stasiun TV yang bersangkutan tak ingin ditegur keras oleh KPI.
Jadi, cukupkah dengan lirik lagu berisi niat baik untuk mengajak pada sebuah kebaikan? Ehm, sepertinya tidak. Bicara tentang ‘niat baik’ yang diwujudkan dalam ‘goyang erotis’, ini sudah dapat diidentifikasi sebagai bentuk peng-oplos-an (pencampuradukkan) antara makna kebaikan dan keburukan dalam perbuatan itu sendiri. Namun, sistem kapitalisme-liberal yang menjadi wadah kehidupan manusia saat ini, memberikan pandangan bahwa individu bebas bertindak dan berbuat apa saja yang diinginkannya untuk meraih kebahagiaan duniawi, termasuk menolak untuk dibatasi dan dibelenggu kebebasannya (Buku IMAD 2004). Akibatnya, perwujudan lagu yang bersangkutan jelas tak sesuai dengan niat baik yang tadinya ingin disampaikan melalui liriknya.
Padahal, Allah Swt sebagai Sang Khaliq, telah berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (TQS Adz-Dzaariyaat [51]: 56). Hal ini dikuatkan dalam sebuah kaidah syara’ tentang hukum perbuatan, yaitu “Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara” (Kitab Ushul Fiqh 2003).
Untuk itu, seluruh kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam. Karena telah ditetapkan kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah Swt. Firman Allah Swt: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah...” (TQS Al-Hasyr [59]: 07) (Buku IMAD 2004).
Di sinilah peran penting sistem Islam sebagai aturan yang mengelaborasi aturan Allah Swt dalam kehidupan manusia. Sistem Islam dengan ketiga asasnya, merupakan sistem tunggal yang khas, yang berbeda dengan sistem kapitalisme dan sosialisme. Asas pertama, ketaqwaan individu; dimana seorang individu akan menjadikan aqidah Islamnya sebagai pengendali tingkah lakunya agar senantiasa dalam koridor aturan Allah Swt. Asas kedua, adanya sikap untuk terbiasa saling mengontrol (‘amar ma’ruf nahyi mungkar) di tengah masyarakat dalam pelaksanaan hukum Islam. Asas ketiga, keberadaan negara atau sistem pemerintahan sebagai pelaksana hukum Islam dalam mengurusi urusan rakyatnya, muslim dan non-muslim (Buku IMAD 2004).
Khatimah: Ihsanul ‘Amal
Amal perbuatan yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh niat yang ikhlas, yaitu hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat, yaitu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul saw.
Fudhail bin Iyadh ra pernah memberi komentar tentang ayat kedua surat Al-Mulk [67], “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Rasul saw.
Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.”
Setelah itu Fudhail bin Iyadh ra membacakan surat Al-Kahfi [18] ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Dengan demikian, niat yang ikhlas (niat baik) saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah Swt, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah Swt. Jadi, benarkah menyampaikan kebaikan itu dapat dilakukan dengan aktivitas keburukan? Oh, tentu tidak. Wallaahu a’lam bish showab []