Sebelumnya pelaku pembakaran bendera PDIP masih misterius. Bisa peserta aksi yang kontra RUU HIP, bisa dari susupan PDIP sendiri, bisa pula memang pihak ketiga.
Yang jelas peringatan “kudatuli” menunjukkan keanehan, tiba-tiba berfokus pada perusakan dan penistaan HRS. HRS sendiri rasanya tidak memiliki hubungan dengan peristiwa 27 Juli tersebut.
Tiga kemungkinan konsekuensi dari penistaan dengan percobaan pembakaran dan perusakkan secara terencana baliho HRS oleh gerombolan ini, yaitu:
Pertama, dilaporkan ke pihak kepolisian Boedi Djarot cs. Tetapi dipastikan proses pengusutan tidak akan berjalan serius. Kasus Ade Armando, Abu Janda, dan Denny Siregar adalah contoh.
Kedua, dilakukan pencarian Boedi Djarot cs oleh massa pendukung HRS untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatan penistaan yang dilakukan oleh gerombolan Djarot ini.
Ketiga, bisa saja budaya bakar bakar dan perusakan baliho atau poster tokoh menjadi kebiasaan. Pembalasan misalnya baliho Megawati atau Djarot atau tokoh lain yang diduga terlibat pun dirusak, diinjak-injak, atau dibakar pula.
Ke depan bisa saja baliho Presiden Jokowi, Menteri atau pejabat lain juga diperlakukan sama. Ini tentu tidak sehat.
Bila tidak ada langkah baik dari kekuatan politik protektor “kelompok merah” maupun aparat penegak hukum, maka isu bahwa perusakan dan pembakaran itu dilakukan oleh gerombolan neo PKI atau aktivis komunis bisa saja menggelinding. Modus adu domba sangat kentara.
Yang dirobek, diinjak-injak, atau dibakar pada hakekatnya tidak lain adalah nilai-nilai moral. Gaya brutal dan vandalisme seperti ini menjadi khas gerakan komunisme.
Wajar rakyat Indonesia harus mulai waspada dan siaga. Neo PKI dan komunisme mulai dan sedang bergerak.
(Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati politik dan kebangsaan.)