Kembali pada tahap keterbukaan global. Sebelumnya, agenda itu dijalankan secara “manual” melalui projek deregulasi dan liberalisasi untuk meruntuhkan kedaulatan ekonomi dan politik setiap negara. Projek itu dimotori oleh IMF, World Bank dan WTO, yang sekaligus berperan sebagai “Sat Pam” kolonialisme global.
Tidak salah jika dikatakan kedaulatan Indonesia telah dirampas pada tahun 1998 melalui Lettert of Intent (LoI) dengan IMF yang telah diratifikasi ke dalam UUD amandemen dan seluruh peraturan dan kebijakan turunannya. Jika ditanya tentang sebab kehancuran ekonomi, sosial dan politik Indonesia saat ini, maka jawabannya salah satu sebab nya karena dirusak oleh IMF dan WB.
Tahap yang saat ini berlangsung untuk mem-bobol tembok atau batas negara, yaitu melalui revolusi digital. Pada tahap revolusi digital, sebetulnya tak butuh lagi tangan negara untuk melakukan deregulasi dan liberalisasi. Karena itu, lembaga multilateral seperti IMF, World Bank dan WTO yang menjadi “Sat Pam” kolonialisme untuk mengawasi deregulasi dan liberalisasi dapat dikatakan telah berkurang relevansinya.
Digitalisasi global, saya menyebutnya dajjal-isasi global, yakni agenda strategis untuk “melenyapkan negara” menuju one world, one system, one government. Digitalisasi global bagaikan air bah Nabi Nuh yang melenyapkan batas negara. Mengubur perbedaan budaya dan tradisi menuju dunia dengan satu identitas budaya dan tradisi tunggal.
Berakhirnya Rekening Gelap
Setelah melewati tahap digitalisasi, maka pada tahap berikutnya adalah agenda integrasi sistem transparansi dan informasi perbankan global. Digitalisasi dan integrasi informasi perbankan global ke depannya adalah saran penghisapan model baru terhadap negara yang tak berdaya secara teknologi, seperti negara kita, dan lainnya.
Melalui Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), agenda itu akan dijalankan dengan sistem yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI). Komitmen internasional tentang AEoI diputuskan di Forum G-20 Leaders Saint Pitersburg Summit (September 2013).
Indonesia dengan gagah berani bersama 52 negara lain telah berkomitmen melaksanakan agenda AEoI itu pada akhir September 2018. Hingga saat ini ada 146 negara yang berkomitmen dalam program AEoI di seluruh dunia. Kabarnya sejumlah 49 negara diantaranya sudah lebih dahulu melaksanakan agenda AEoI pada tahun 2017 silam.
Menurut Undang-Undang Nomor 9/2017 yang sudah disepakati untuk dijalankannya agenda AEoI, setidaknya ada lima elemen data standar yang akan dipertukarkan oleh setiap negara. Diantaranya adalah identitas pemilik rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo rekening dan penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).
Jika mengacu pada informasi yang dihimpun dan di-umbar oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) pada 12/2/2015. Menurut ICIJ, HSBC Swiss telah menampung lebih dari USD 100 miliar rekening dari 106 ribu klien yang tersebar di 203 negara. Sebanyak USD 12,6 miliar bahkan mengatasnamakan institusi pemerintah di sektor minyak.
Demikian juga, jika mengacu pada data tentang negara-negara suaka pajak (tax havens) atau Offshore Financial Center (OFC) yang diumumkan oleh Boston Consulting Group (BCG) tentang Global Wealth Market Sizing tahun 2013. Diantaranya Swiss adalah urutan pertama negara suaka pajak dan offshore dengan total dana yang diumpetin mencapai USD 2,2 triliun.
Selanjutnya disusul Hong Kong dan Singapura sebesar USD 1,2 triliun. Kepulauan Channel dan Dublin USD 1,1 triliun. Karibia dan Panama sebanyak USD 1,1 triliiun. Sisanya USD 2,9 triliun dari total USD 8,5 triliun yang bisa dilacak, tersebar hampir merata di Britania Raya, Amerika Serikat, Dubai, Monako dan Luxemburg.
Mengacu pada data standar yang dipertukarkan di atas, semestinya melalui agenda AEoI yang telah disepakati, maka pemerintah Indonesia dapat memperoleh informasi terkait dugaan ribuan triliun duit gelap Indonesia yang dipendam dan diumpetin di luar negeri. Uang sebanyak itu harusnya disita oleh negara karena diduga diperoleh dari mencuri uang dan kekayaan negara, serta menggelapkan pajak.
Pertanyaannya, apakah pemerintahan Joko Widodo berani mengusut jejak harta para cukongnya yang diduga telah mencuri uang negara, menggelapkan pajak dan diumpetin di luar negeri? Bukan para cukong, taipan dan saudagar, mereka itu diduga telah berperan membiayai Joko Widodo hingga terpilih jadi Presiden?
Lalu apa relevansinya IMF-World Bank Meeting di Bali yang menghabiskan ratusan hingga triliunan duit rakyat? Bukankah dua lembaga ini adalah Sat Pam kolonialisme global yang berperan aktif merusak negara kita pada tahun 1997/998? Kenapa kita justru menjadi fasilitator pertemuan untuk mengkolonialisasi negara kita sendiri? Bukankah IMF dan World Bank sudah tak relevan lagi di era revolusi digital?
Mari kita bertanya pada katak yang tak sanggup lagi melompat secara asimetris. [rmol]
Penulis: Haris Rusly Moti, Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 Yogyakarta dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community (Infinity)