Sementara pada saat yang sama pemerintah mengusulkan untuk menambah subsidi bagi kebutuhan gas industri besar.
Trader gas, para pemungut rente terus dimanjakan oleh pemerintah. Selain tidak adil, kebijakan pemerintah semacam ini justru berbahaya. Industri tetap tidak akan dapat menjual produknya pada saat daya beli masyarakat melemah.
Tandanya: banyak industri pun banyak mengalami gagal bayar. Zombie company –perusahaan yang meminjam hanya untuk membayar bunga utangnya- semakin banyak bermunculan di pasar saham (lebih dari 30%).
Di BUMN, semua borok juga mulai terbuka, busuknya pengelolaan korporasi negara selama ini sudah terkuak.
Yang belakangan terbuka, seperti Garuda, Jiwasraya, dan Asabri, barulah “puncak gunung es” dari dalamnya masalah ini. Koreksi di BUMN sudah mulai terlihat. Dampak dari koreksi ini yang paling langsung adalah akan turunnya kontribusi BUMN terhadap pemasukan di APBN.
Sumber dari koreksi besar lainnya, di pasar keuangan, adalah dari sektor asuransi dan reksadana.
Banyaknya kasus saham gorengan (baca: pembobolan) dalam dunia para pemain pasar ini, ditambahnya dengan lemahnya pengawasan otoritas OJK –yang diduga sengaja, mengingat rekam jejak ketua OJK yang di masa lalunya terlibat Skandal Century – akan membangkitkan gelombang ketidak percayaan besar di kalangan pelaku pasar asuransi dan reksadana.
Besar aset industry asuransi umum Rp 142 triliun sedangkan dana kelolaan reksanadana mencapai Rp 550 triliun.
Akan sangat besar goncangannya bila 40%, estimasi seorang ekonom, dana dari pasar tersebut pergi. Koreksi ini akan memukul kalangan kelas menengah.
Koreksi yang paling tidak diduga justru berasal dari dunia perdagangan digital (e-commerce).
Karena dunia digital sering dijadikan pemerintah Jokowi semacam “ratu adil” bagi terpuruknya perekonomian. Padahal koreksi juga akan segera terjadi pada bisnis ini di tahun 2020. Karena kenyataan bisnis ini sebenarnya tak lebih dari suatu model money game “bakar uang”, semi Ponzi. Siapa yang invest pertama akan untung, sementara yang terakhir akan buntung. Softbank sudah mulai goyah, dan kemungkinan juga akan terjadi hal yang sama dengan Alibaba dan segala industri turunannya di Indonesia.
Model pemasaran dengan diskon gila-gilaan, future valuation yang tidak rasional (karena mereka mengasumsikan daya beli para user terlalu besar) akan segera mengalami koreksi besar.
Karena bagaimanapun daya beli masyarakat yang sedang menurun tetap tidak dapat membeli produk-produk ini. Koreksi dalam industri digital ini akhirnua akan membuka mata para pemuda milenial dan kelas menengah terdidik tentang kenyataan terpuruknya perekonomian nasional.
Dengan bergabungnya seluruh faktor koreksi besar tersebut di atas -koreksi ekonomi makro ditambah korporat dan digital- ditambah dengan faktor politik yang sekamnya belum padam pasca Pilpres, terutama pada faktor Agama yang sangat sensitif, maka bukan tidak mungkin pada tahun ini Indonesia akan mengalami sejarah sosial yang sangat buruk.
Suatu hal yang tidak bisa diperlambat, bila respon pemerintah tetap seperti biasanya. Bahkan mungkin dapat dipercepat, bila respon kita sesuai.(*end)
_______________________
Oleh: Gede Sandra, Ekonom dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat