Ganti Presiden Lebih Mendesak Ketimbang Pindah Ibu Kota

Sebelum lebih jauh menimbulkan banyak masalah yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Terlebih pada polemik dan kontroversi ibu kota negara baru yang membutuhkan biaya hampir 500 triliun, sementara pemerintah membutuhkan  biaya tidak sedikit untuk pemulihan negara.

Saat rakyat dengan kemiskinan bertahan hidup karena pandemi, kengototan pemindahan ibu kota negara menandakan gejala hiprokat dan sakit jiwa para penyelenggara negara, utamanya seorang presiden.

Jadi, ibarat dipaksa melakukan perjudian dengan nafsu memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Terutama ketika akal sehat, basis akademis,  logika hukum dan konstitusi tak dipakai dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara.

Ada baiknya seluruh rakyat Indonesia mengganti presiden ketimbang memindahkan ibu kota. Selayaknya menjadi agenda yang mendesak dan menjadi skala prioritas bagi negara ini.

Itupun jika bangsa Indonesia masih mau selamat dan memiliki masa depan yang jauh lebih baik.

Selamat memilih presiden baru, bukan membangun ibu kota baru. [FNN]