Di Amerika Serikat analisa terhadap lembaga negara dan pejabat publiknya, sekeras apapun, tidak terdengar di laporkan ke kepolisian. Karena bagi rakyat Amerika, kebebasan berpikir dan berpendapat adalah roh atau esensi kehidupan berdemokrasi.
Media Amerika Serikat juga terkenal galak dan kritis terhadap Gedung Putih dan Presidennya, tanpa ketakutan tuduhan pencemaran nama baik atau penghinaan terhadap simbol negara.
Berbeda dengan di Indonesia yang pejabat publiknya acap kali melaporkan atau mengancam akan melaporkan pengkritiknya ke aparat penegak hukum.
Terakhir terakhir ini misalnya, Menko LBP melaporkan Said Didu ke polisi dan ada anggota DPR mengancam akan melaporkan Najwa Shihab karena memberikan penilaiannya terhadap kinerja DPR.
Bukankah para pejabat tadi lebih baik mengkonternya sekalian memberikan pencerahan kepada publik?
Toh beliau beliau itu mempunyai data dan aparat humas yang memadai untuk menjelaskan ke publik duduk persoalannya. Luar biasa, mereka berdua masih tegar menghadapi ancaman tersebut.
Tentu masih banyak contoh contoh pelaporan yang lain yang pada hemat saya cepat atau lambat akan menggerus esensi kehidupan berdemokrasi kita, menjadi demokrasi setengah hati. Orang semakin takut.
Sebagai orang awam hukum, sejujurnya saya jadi sulit membedakan mana perbuatan atau kegiatan pidana dan mana perbuatan politik. Saya cuma ingat kata guru civic sewaktu di SMA yang mengatakan pada zaman penjajahan Belanda dulu bahwa pribumi yang berbeda sikap dengan penguasa akan diseret ke meja hijau tetapi tidak untuk orang Belanda.
Kemudian saya berpikir, jangan jangan kita memang belum siap berdemokrasi, meskipun esensinya sudah dijamin dalam UUD 1945.
Atau mungkinkah demokrasi yang sedang kita jalankan sekarang ini sebenarnya tidak cocok dengan bangsa kita? Ataukah semata mata karena kemunafikan kita dalam berdemokrasi? Biarlah para ahli dan sejarah yang menjawabnya.(end)
(Penulis: Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan.)