FPI dan Masa Depan Indonesia

Kemana FPI Bergerak?

Pernyataan FPI alias 212 tidak mengundang capres-cawapres dalam acara massal di Monas, 2/12/23, lalu menjadi teka teki politik. Sebelumnya, FPI mengundang Anies/Muhaimin dalam ijtima ulama dan tidak mengundang calon lainnya. Pernyataan bahwa tidak mengundang capres-cawapres dalam acara reuni 212 kemarin dapat dimaknai bahwa gerakan yang sedang dibangun FPI belum tentu beririsan dengan Visi-Misi capres-cawapres yang ada. Setidaknya, kejadian terbaru adalah terjadinya kontradiksi pada isu LGBT (homoseksual), di mana FPI menolak konser Coldplay di Indonesia, sedangkan Muhaimin Iskandar terang-terangan menonton konser tersebut.

Menurut Saidiman, SMRC, suara 212 (dan atau FPI), dapat mencapai 20-30 juta suara. Suara ini diprediksi merupakan suara AMIN. Namun, pemilu belum berakhir. Pada tahun 2014 dan 2019, kelompok FPI merupakan sekutu Prabowo Subianto. Suara Prabowo dan Gerindra mencapai puncaknya pada tahun 2019, yakni masing-masing 44,5% dan 17%. Tentu saja angka ini fantastik dan difahami benar kelompok FPI sebagai sebuah kekuatan.

Pernyataan FPI tidak mengundang capres-cawapres dalam acara 212 kemarin, dalam persepsi politik bisa juga difahami belum adanya “deal” antara AMIN dan 212, khususnya masalah-masalah ideologis. Dalam ijtima ulama lalu, ada 13 pakta integritas yang disampaikan. Menurut Hanif Al Atas, CNN Indonesia 30/11/23, belum ada dukungan resmi ke pasangan capres-cawapres. Mereka akan mengikuti ijtima ulama, namun menurutnya ijtima ulama belum mengambil keputusan.

Jikalau FPI mengambil jalan di luar kekuasaan, seperti yang diperankannya selama ini, maka FPI dapat bergerak bebas mempengaruhi dinamika sosial yang ada. Tantangan kekuasaan ke depan, siapapun berkuasa, kelihatannya tidak sekejam rezim Jokowi terhadap FPI dan terhadap demokrasi.

Penutup

Fachrul Razi, mantan wakil Panglima TNI, heboh dan viral di media belakangan ini, mengaku takut berdosa untuk terlibat membubarkan Front Pembela Islam (FPI) 3 tahun lalu. Sebagai orang Aceh atau tumbuh besar di Aceh, istrinya mengingatkan hal itu. Menurutnya FPI bukan organisasi radikal apalagi teroris. Persoalan FPI adalah ekstrimitas yang dapat dibina. Tentu saja pernyataan ini mem falsifikasi (istilah Karl Popper) tuduhan-tuduhan sesat terhadap FPI selama ini. Begitu juga masyarakat internasional, meskipun tidak senang dengan FPI, namun pembubaran FPI tanpa pengadilan dianggap melanggar norma-norma demokrasi.

Pengakuan mantan menteri agama ini terlihat dari recovery FPI baru (Front Persatuan Nasional), yang mampu menunjukkan kekuatannya pada reuni 212 beberapa hari lalu. Sekitar satu juta massa hadir atas nama FPI itu sendiri, murni.

Keberhasilan Habib Rizieq dalam melakukan regenerasi menjadi catatan penting bagi bangkitnya FPI. Saat ini anak-anak mantu Habib Rizieq, dalam usia 30 an, mengambil alih kepemimpinan. Kita melihat berbagai medsos dihiasi oleh kemampuan mereka berdebat dalam tema-tema Islam dan kemasyarakatan.

Arah politik yang ditunjukkan FPI terbaru adalah netral terhadap politik pilpres. Hal ini diungkapkan mereka untuk tidak mengundang capres-cawapres dalam aksi sejuta massa pada reuni 212 lalu. Begitu juga Habib Hanif Al Atas, 30/11/23, mengatakan bahwa belum ada keputusan ijtima ulama dalam dukung mendukung capres-cawapres. Ini menunjukkan pergerakan FPI sangat percaya diri bahwa mereka kembali menjadi kekuatan faktual yang akan mendinamisir perjalanan bangsa ke depan, setidaknya paska Jokowi berkuasa. (sumber: Faktakini)

Beri Komentar