Memalukan, karena kredibitas pimpinan Polri menjadi hancur berserakan. Betapa tidak! Semua orang besar di Polri waktu itu sangat bersemangat untuk membongkar jaringan yang “mengerikan”. Apalagi, oleh berbagai pihak, kegiatan jahat jaringan itu dikesan-kesankan terkait dengan umat Islam, khususnya kaum muslimin yang menunjukkan sikap kritis terhadap penguasa.
Sekarang, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polri tentang Saracen yang “mengerikan” itu dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan jaksa di pengadilan, dianggap “omong kosong” oleh majelis hakim. Jasriadi dinyatakan tak terbutki menerima pesanan penyebaran ujaran kebencian dengan upah ratusan juta rupiah. Juga tak terbutki membuat 800,000 akun anonim.
Bukankah ini berarti bahwa kasus Saracen adalah isu yang dipaksakan? Yaitu dipaksakan guna mendapatkan pembenaran (justifikasi) bahwa memang ada operasi besar-besaran untuk menjelek-jelekkan penguasa melalui “pabrik fitnah” yang disebut Saracen.
Meskipun tidak terbukti, kasus Saracen telah menimbulkan goresan di kalangan publik. Menurut hemat saya, kasus ini sedikit-banyak menimbulkan macam-macam perasaan negatif, terutama di kalangan umat Islam. Ada rasa tersinggung, ada rasa malu, ada rasa sedih, ada rasa “helpless” (tak berdaya), dlsb. Sebab, secara kebetulan para “pelaku” Saracen yang ditangkap polisi adalah orang Islam. Serasa umat Islam menjadi tertuduh, tersangka, dan menjadi terdakwa.
Saya yakin, banyak kaum muslimin yang menangis, yang marah, yang sedih, dan yang juga malu disebabkan isu Saracen. Waktu itu banyak orang, terutama dari kubu penguasa, yang mengucapkan labelisasi jelek terhadap orang-orang yang dikatakan terlibat jaringan yang “mengerikan” ini. Sekali lagi, orang-orang yang terlibat itu adalah orang Islam.
Hari ini, kaum muslimin bersujud syukur. Bersyukur karena yang “mengerikan” itu ternyata bukanlah Saracen, melainkan cara kerja Polisi. Yang “mengerikan” itu adalah imajinasi yang berkembang dalam penyelidikan.
Yang “mengerikan” itu adalah nafsu untuk membuktikan keberadaan Saracen sebagai “mesin kebencian”. Keinginan yang menggebu-gebu untuk mensaracenkan yang bukan Saracen.
Hari ini, pimpinan Polri pantas merenung. Klaim “kami profesional”, menjadi tidak klop. Putusan PN Pekanbaru perlu direnungkan karena Sacaren bukan isu kecil. Saracen hampir-hampir menyeret tokoh-tokoh yang tak bersalah, yang selama ini hanya mengambil posisi yang berseberangan dengan penguasa. Waktu itu, saya berpikir: “Sebegitu burukkah kelakuan oknum-oknum Islam dalam beroposisi?” Haruskah menyebar kebencian dan fitnah dengan cara Saracen untuk menghentikan kesewenangan penguasa?