FITNAH ITU BERNAMA ‘TERORISME’

Dampak dari terorisasi para ustadz ini, luar biasa destruktif. Sejumlah murid-murid dan jama’ah yang selama ini mendapat kucuran ilmu dari para ustadz, menjadi terhalang dari kebaikan ilmu karena kasus ini. Anggota keluarga para ustadz, yang biasa membersamai para ustadz, karena para ustadz di penjara.

Publik dibuat takut dengan ceramah agama, dakwah, syariah, jihad, khilafah, dan seterusnya.

Dan dalam narasi tuduhan pendanaan terorisme, dimana densus 88 menyita 791 kotak amal zakat, infak dan sedekah, masyarakat dibuat ragu dan takut untuk beramal. Kalau memberikan sedekah ragu dananya dikelola dengan tidak amanah. Kalau memberikan sedekah, takut uangnya digunakan untuk mendanai kegiatan terorisme.

Pada kasus ACT juga sama. Saat pemberitaan media, ramai dinarasikan cuci uang, PPATK memblokir sejumlah rekening ACT. Begitu masuk sidang, tidak ada pasal TPPU nya.

Framing jahat pada ACT telah membuat masyarakat ragu dan takut menyumbang ke Yayasan sosial yang sebenarnya sangat membantu umat. Masyarakat dicekok’i fitnah, yang tak pernah dapat dibuktikan di pengadilan.

Sebenarnya, kalau penyidik taat asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), semestinya saat menyidik Densus fokus untuk membawa perkara ke persidangan. Bukan sibuk rilis ke media dengan fitnah yang tak pernah dapat dibuktikan di pengadilan.

Lagipula, didalam KUHAP tak ada tahapan rilis ke media. Setelah disidik, penyidik berkewajiban membawa perkara ke jaksa untuk diadili perkaranya di pengadilan. bukan diedarkan materinya ke media.

Namun densus gemar melakukan sejumlah ‘trial by press’, menghakimi para ustadz melalui rilis media. Setelah tidak terbukti di persidangan, tidak ada klatifikasi dan permintaan maaf dari densus 88 yang sebelumnya merilis fitnah yang keji, yang diedarkan ditengah masyarakat.

Terorisme faktanya hanya fitnah. War On Terorism, sejatinya adalah War On Islam. Tidakah umat ini bangkit, setelah semua ini nyata terjadi? atau mau menunggu korban terorisasi lebih banyak lagi? Wallahu a’lam. [Sumber: Faktakini].