Gonjang-ganjing politik nasional untuk menentukan koalisi jelang pemilihan presiden telah usai. Publik menyaksikan sejumlah fenomena memiriskan.
Partai-partai politik terjebak pembelahan internal dan kesulitan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik antar faksi yang berbeda kepentingan. Sejumlah elite politisi terbongkar watak aslinya yang haus kekuasaan, meskipun selama ini dibungkus jargon membela kepentingan rakyat atau umat.
Bila kita refleksi sejenak, isu sensitif mencuat ketika calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirim utusan khusus (Mensesneg Hatta Radjasa) untuk menemui capres Megawati Soekarnoputeri. Mulanya, publik bersimpati karena pemerintahan SBY masih memperhatikan kepentingan mantan presiden dengan memberikan hak rumah tinggal, tanpa terbelenggu rasa dendam. Padahal masyarakat tahu, sejak turun dari kursi kekuasaannya sampai saat ini Mega tak pernah sudi menemui SBY.
Pada pertemuan selanjutnya, publik dibuat bingung karena pertemuan informal itu dimaksudkan sebagai komunikasi politik untuk membangun koalisi baru Partai Demokrat (PD) dan PDI Perjuangan. Taufik Kieman, suami Mega dan Ketua Deperpu PDIP rupanya setuju dengan proposal itu. Dua musuh berbuyutan akan bergandeng-tangan, sungguh mengejutkan. Kemungkinan itu, meskipun akhirnya tak terwujud, telah menimbulkan dampak berganda.
Bagi pendukung koalisi besar, peristiwa itu merupakan bukti ke sekian kali bahwa PD (lebih tepat: SBY) menjalankan strategi belah bambu (divide et impera) –dilontarkan pertama kali oleh Jusuf Kalla dan dibenarkan oleh pengamat Syamsudin Haris– atas lawan politiknya sebelum masuk ke arena pemilihan presiden. Faktanya, saat itu PDIP sedang mengalami kesulitan untuk menetapkan format koalisi dengan Partai Gerindra.
Dampak tak terukur adalah reaksi keras dari rekan koalisi PD yang selama ini telah serius membahas format koalisi berdasarkan kesamaan platform. Pembicaraan panjang selama berpekan-pekan terhapus begitu saja hanya karena komunikasi sepihak. Ketegangan semakin memuncak, ketika SBY menyatakan telah memilih cawapres dari kalangan teknokrat yang dikenal dekat dengan Mega.
Apakah itu harga sebuah kompromi? Suatu prasyarat koalisi yang aneh. Atau sekadar isyarat, jika harus bertarung dalam pilpres nanti, kedua pihak tidak akan mengganggu jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, rencana koalisi-oposisi besar di parlemen telah digagalkan sebelum pertandingan dimulai.
Mitra koalisi PD meradang karena komunikasi politik SBY dinilai sangat merendahkan. Pada awal pembentukan koalisi, SBY menerima pimpinan partai satu per satu untuk menjelaskan agenda koalisi selama lima tahun, dan kriteria calon pendampingnya pun dibeberkan kepada publik. Tiba-tiba nama cawapres muncul lewat seorang utusan, bahkan terkesan kuat mendapat persetujuan (endorsement) dari lawan politik (PDIP), atau sekurang-kurangnya merupakan kompromi di bawah tangan.
Mengapa perkara sepenting itu tidak dibicarakan bersama lebih dulu atau dikomunikasikan secara langsung antar pimpinan partai? Pertanyaan yang mengganjal di awal pembentukan koalisi ini mencerminkan perjalanan yang tak bakal mulus lima tahun mendatang. Gaya kepemimpinan one man show lebih mengemuka.
Disamping isu pembentukan koalisi politik yang amat pragmatis dan manuver elite politisi yang kekanak-kanakan, dinamika politik sekarang memperlihatkan lemahnya kesadaran tentang regenerasi kepemimpinan nasional. Penunjukan Boediono sebagai cawapres membuktikan kelemahan SBY sebagai pemimpin di masa reformasi.
Pasar boleh menyatakan Boediono sebagai pilihan tepat karena dapat menyeimbangkan benturan kepentingan di antara partai pendukung koalisi, ditambah lagi alasan kompetensi di bidang ekonomi makro yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi efek krisis finansial global. Namun, satu fakta tak bisa disembunyikan: SBY sengaja menghindar dari ’ancaman’ atas supremasi politik PD pada pemilu 2014.
’Ancaman’ itu kebetulan datang dari calon mitra koalisi, partai berasas Islam (PKS dan PPP) atau berbasis massa Islam (PAN dan PKB). SBY tak berani mengambil risiko untuk membangun aliansi nasionalis-relijius yang lebih luas, seperti pernah diformulasikan Mark Jurgenmeyer (1998). Friksi domestik dan resistensi asing masih terlalu berat untuk ditanggung ketimbang mengendalikan kepentingan elite politisi yang fluktuatif.
Padahal, berbagai survei (LP3ES, Puskaptis FISIP UI, dan LRI) telah menyimpulkan Hidayat Nur Wahid merupakan pasangan yang paling pas untuk memastikan kemenangan SBY. Atau, figur Hatta Radjasa yang dikenal bisa diterima semua kelompok kepentingan, disamping memiliki hubungan khusus dengan keluarga SBY.
Memilih salah satu di antara dua sosok ’muda’ itu akan membuktikan SBY masih percaya urgensi regenerasi kepemimpinan, walau harus menunda kepentingan pribadi/partainya. Belakangan, PKB juga mengusulkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres, sementara PPP lebih memilih sikap abstain.
Akhirnya, yang mendominasi adalah ketakutan sistematik di balik ungkapan, ”jangan coba-coba memelihara ’anak macan’ dengan memilih cawapres yang salah”. Siapa yang dimaksud ’anak macan’ sesungguhnya? Dan, seberapa besar ’bahaya’ anak macan terhadap masa depan kekuasaan SBY? Ironis sekali, bahaya atas kekuasaan personal itu dipersepsikan datang dari mitra koalisi sendiri. Ini seperti kasus sleeping with the enimies atau dancing with the wolves.
Koalisi bukan lagi bermakna three in one – memenangkan pilpres, memperkuat dukungan parlemen dan mengawal efektivitas pemerintahan – seperti diungkapkan Anas Urbaningrum. Figur cawapres bukan pula semata memiliki integritas, moralitas, kapabilitas, akseptabilitas dan fungsi soliditas politik sebagaimana disuarakan SBY sendiri.
Koalisi di mata SBY berarti ‘penaklukan dan pelemahan serta penyerahan total’ ambisi kekuasaan di tangannya sendiri. Sebuah konsepsi kekuasaan yang absah bagi penganut paham Jawa, sebagaimana pernah dirumuskan Benedict Anderson (1990). Penguasa Jawa memandang dirinya sebagai pusat kekuatan alam semesta, segala unsur yang bertentangan bisa bersatu-padu di bawah kontrolnya.
Sehingga konflik yang muncul itu memang sengaja diciptakan untuk memperlemah segenap potensi subversif terhadap penguasa tunggal. Mantan Presiden Soeharto telah berhasil menerapkan konsep kekuasaan Jawa ini dalam tiga dekade pemerintahannya, dan SBY menguji-coba konsep yang sama hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Bukan hanya mitra koalisi PD yang kebingungan, sejumlah pengurus PD dan orang dekat SBY yang berpikir rasional juga tak paham dengan gaya kepemimpinan ini. Tenang-tenang, tapi menghanyutkan. Mereka akhirnya menebak-nebak dan menafsirkan segenap putusan kontroversial selayaknya ‘abdi dalem’ keraton yang memegang prinsip sabda pandita ratu.
Jika benar, gaya kepemimpinan macam ini sangat mencemaskan karena salah satu “Visi Reformasi” gerakan mahasiswa 1998 adalah menyuburkan budaya demokratis dan mengikis feodalisme dalam segala bentuknya. Salah satu fenomena yang menarik dalam rakernas PD (26/4/2009) adalah pengaturan peserta untuk bertepuk-tangan, saat SBY sedang berpidato, semua serba seragam dan mekanistis.
Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri telah secara terbuka memodifikasi gaya kepemimpinan Jawa yang sentralistik, dengan terjun langsung ke tengah masyarakat. Megawati juga mulai mengikuti saran penasehat politiknya untuk membuka diri dan berkomunikasi dengan semua kalangan.
Jika kriteria penentuan cawapres PD benar-benar bertujuan menghindari ‘anak macan’, maka tokoh sekelas Boediono hanya diposisikan sebagai ‘anak kucing’ yang bisa diatur sekena hati tuannya. Tidak ada nilai tambah cawapres, seperti diinginkan tokoh muda PD, Anas Urbaningrum untuk memperkuat koalisi.
Sungguh nahas nasib Republik ini, bila para pemimpinnya tak peka menangkap pergeseran aspirasi rakyat, bahkan mematikan peluang regenerasi kepemimpinan nasional karena ketakutan, dan mungkin diimbuhi sedikit megalomania.***
Sapto Waluyo, Direktur Center for Indonesian Reform
*) Center for Indonesian Reform, Gedung PP Plaza Lantai 3 (MUC Office),
Jalan TB Simatupang No. 57, Jakarta Timur, Email: [email protected]
foto: detikcom