Eramuslim.com – Oleh: H. Ainul Yaqin
ISTILAH gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya kelamin. Namun pemaknaan istilah gender mengalami penyempitan dari sekedar makna kelamin yang merupakan terjemahan dari seks menjadi makna khusus. Santrock (2002: 365) mengemukakan bahwa istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi.
Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.
Senada dengan definisi yang dikemukakan Santrock, Mansur Fakih (2006: 71) mengemukakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Perubahan ciri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut konsep gender.
Maka sederhananya istilah gender dapat difahami sebagai hal yang berkaitan dengan laki-laki dan perempuan di luar faktor jenis kelamin. Konsep gender muncul berangkat dari asumsi bahwa pembedaan laki-laki dan perempuan di luar faktor jenis kelamin merupakan konstruksi sosial, tidak bersifak kodrati.
Tesis yang dikemukakan, bahwa wanita berbeda dengan laki-laki hanya pada tiga hal yang sering disebut 3M yaitu; menstruasi, melahirkan dan menyusui. Ketiga hal ini yang disebut perbedaan alami (nature) atau kodrati.
Adapun perbedaan selebihnya bukan bersifat kodrati tetapi karena sosialisasi dan konstruksi sosial (nurture). (Ratna Megawangi, 1999: h. 93) Karena bersifat konstruksi sosial sehingga bisa bias yang memunculkan ketidakadilan gender. Itulah tesis lanjutannya.
Maka para aktivis gender liberal yang ekstrim menolak konsep ibu identik wanita dan bapak identik laki-laki. Dalam pandangan mereka, konsep ibu berkonotasi wanita dan bapak berkonotasi laki-laki bukanlah alamiyah (nature) tetapi konstruksi sosial (nurture).
Asumsi mereka mengatakan, bisa saja konsepnya dibalik, bapak adalah wanita dan ibu adalah laki-laki. Berangkat dari pandangan tersebut di atas, isu ketidakadilan gender menjadi wacana yang paling sering dimunculkan oleh para aktivis gender.
Adanya realitas di masyarakat yang memberikan peran berbeda antara kaum perempuan dan laki-laki sering dimaknai sebagai suatu ketidakadilan gender. Dalam hal ini agama sering dipojokkan sebagai sumber terjadinya perlakuan diskriminatif.
Sejumlah aktivis gender muslim misalnya, menyatakan bahwa tradisi agama-agama Ibrahimik termasuk Islam selalu berlandaskan patriakalisme. Pengaruh ini menurut mereka terlembagakan lewat institusi keagamaan yang secara ketat dikontrol oleh kaum lelaki (Amelia Fauzua, dkk; 2004, hal. 201).
Beberapa di antara mereka juga berpandangan bahwa beberapa hadits seputar perempuan tak dielakkan lagi memperlihatkan adanya pengaruh personal interest dari para perawinya yang laki-laki (Amelia Fauzua, dkk; 2004, hal. 203). Stigma patriakalisme muncul untuk menunjukkan adanya ketidakadilan sebagai bias gender.
Sejumlah aktivis gender menawarkan konsep yang mereka namai kesetaraan gender. Tapi apa sesungguhnya yang mereka perjuangkan dengan kesetaraan gender ternyata tidak sekonsisten dengan yang mereka tuduhkan terkait dengan isu ketidakadilan gender.
Kebanyakan mereka hanya menginginkan yang enak-enak sembari dengan lantang menyuarakan isu ketidakadilan gender. Padahal konsep kesetaran gender yang sering disuarakan adalah menyamakan peran laki-laki dan perempuan dalam arti 50:50.
Artinya menolak pembedaan peran laki-laki dan perempuan secara mutlak di luar faktor 3M. Konsep kesetaraan 50:50 adalah pandangan ekstrim, jika diimplementasikan secara nyata jelas sekali dapat merusak tatanan institusi keluarga.
Jika laki-laki dan perempuan diposisikan dengan peran yang sama maka tidak ada lagi pembagian peran ibu dan bapak.
Dalam hal ini Ratna Megawangi (1999: h. 62) menuturkan berdasarkan kasus negara Skandinavia, keberhasilan mewujudkan kesataraan gender dengan skema kesetaraan 50:50, telah membawa pada kondisi meningkatnya angka partisipasi wanita di sektor tenaga kerja, yang diikuti dengan tingkat ketidakstabilan atau perpecahan keluarga yang paling tinggi.
Hal ini karena para wanita telah merasa sama dengan laki-laki dan sebaliknya, sehingga menyebabkan hilangnya saling membutuhkan satu sama lain yang bersifat sosial.
Kebutuhan interaksi suami istri hanya sebatas untuk kepentingan yang bersifat seksual saja sehingga ikatan keluarga menjadi sangat rapuh.
Konsekwensi lain dengan tuntutan kesetaraan gender sebenarkan justru bisa menyulitkan kaum perempuan sendiri. Jika pemikiran kesetaraan dalam arti 50:50 ini diteruskan secara konsekuen, bisa saja kaum laki-laki akan menuntut balik pada kaum perempuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini banyak diperankan oleh laki-laki seperti memanjat kelapa, mengayuh becak, pandai besi, dsb.
Bisa saja seorang suami akan ogah-ogahan dihadapan istrinya tatkala ada genting bocor. Disaat si istri menuntut agar membenahi genting bocor, si suami bilang, betulin sendiri, kan kita sudah setara. Nah, bila ini terjadi justru kaum perempuan bisa paling menderita dan menjadi beban berat bagi kaum perempuan.
Selama ini adanya pembagian peran dalam arti tidak pada pola kesetaraan 50:50 justru akan membentuk sebuah hubungan mutualisme yang saling membutuhkan.
Dalam kehidupan rumah tangga kaum laki-laki biasanya lebih banyak mengambil peran menyelesaikaan hal-hal yang bersifat kasar yang membutuhkan tenaga fisik lebih besar, sementara kaum perempuan banyak mengerjakan sektor yang lebih halus. Tuntutan kesetaraan 50:50 akan menghilangkan pembagian peran ini.
Lalu bagaimanakah relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam, maka sesungguhnya Islam tidak mengenal dikotomi seks versus gender. Islam hanya mengenal istilah laki-laki dan perempuan dalam konteks seks sekaligus gender, dengan kata lain tidak ada pembedaan dua hal tersebut.
Antara seks dan gender merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai contoh, Islam tidak menuntut perempuan menjalankan ibadah shalat terus-menerus tanpa jeda seperti kaum laki-laki, tetapi ada waktu-waktu tertentu yang tidak mewajibkan perempuan menjalankan ibadah shalat yaitu saat menstruasi dan nifas pasca melahirkan.
Islam mengajarkan pada perempuan untuk mengganti puasa Ramadhan di hari lain saat menstruasi dan nifas. Islam juga memperbolehkan perempuan tidak berpuasa Ramadhan dan mengganti di hari lain ketika masa-masa menyusui si buah hatinya.
Hal ini semua tidak ada pada laki-laki. Artinya tidak hanya soal urusan kelamin, laki-laki berbeda dengan wanita.
Secara umum Islam memposisikan laki-laki berbeda dengan perempuan dan keduanya saling berpasangan yang saling melengkapi. Al-Qur’an memberikan ungkapan dengan indah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13)
Dalam ayat lain Allah bersumpah:
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ
“..dan (demi) penciptaan laki-laki dan perempuan.” (QS. Al-lail: 3)
Kemudian Allah Swt menegaskan bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan:
وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰ
“..Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran: 36)
Allah Swt juga menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah saling berpasangan:
وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” (QS. Al-Najm: 45).
Bahkan dalam relasi suami istri antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Dengan demikian, konsep laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dalam perspektif al-Qur’an adalah kodrati, bukan konstruksi sosial.
Al-Qur’an menuturkan dengan bahasa kiasan yang indah dan sopan:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Dengan pandangan seperti ini Islam mengutuk keras perkawinan sejenis baik sesama laki-laki ataupun perempuan dengan perempuan. Praktik lesbian dan homoseksual adalah perilaku dosa, keji, dan melampaui batas.
Ada beberapa ayat yang menjelaskan hal ini di antaranya:
وَلُوطًا إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِۦٓ إِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنۡ أَحَدٖ مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, “Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu.” (QS. Al-Ankabut: 28)
أَتَأۡتُونَ ٱلذُّكۡرَانَ مِنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٥ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمۡ رَبُّكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٌ عَادُونَ ١٦٦
“Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (berbuat homoseks), dan kamu tinggalkan perempuan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istri kamu? Kamu (memang) orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Syuara’: 165-166).
Adanya pembagian peran dalam relasi laki-laki dan perempuan tidak berarti kedudukannya satu lebih unggul dari yang lain, walaupun peran dan tanggungjawabnya dalam beberapa hal berbeda. Secara umum Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan bahwa keduanya setara dalam arti kedudukannya, setara dalam hal ini tidak berarti sama tetapi sebagai hubungan komplementer yang saling melengkapi.
إِنَّمَا النَّسِاءُ شَقَائِق الرِّجَال
“Sesungguhnya Kaum wanita merupakan belahan kaum lelaki.” (HR. Abu Dawud).
Di sisi lain Islam memandang laki-laki dan perempuan tidak berbeda jika dilihat dari sudut pandang sama-sama sebagai manusia. Keduanya mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pahala atas kebaikannya dan mendapat dosa atas kemaksiatan yang dilakuakannya.
Maka al-Qur’an menegaskan:
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ
وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan iman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 97)
Demikian juga firman Allah:
إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang besedekah, laki-laki dan perempuan yang berkuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Ahzab: 35).
Kesimpulan
Konsep dikotimis seks versus gender telah melahirkan tuduhan adanya ketidakadilan gender yang memunculkan tuntutan kesetaraan gender 50:50. Konsep ini sangat problematik yang jika diterapkan secara konsisten akan menjebak kaum perempuan sendiri.
Islam agama fitrah tidak mengenal dikotomi seks dan gender. Relasi laki-laki dan perempuan diibangun dalam konstruksi yang bersifat kamplementer saling melengkapi satu sama lain dan bersifat kodrati.*
Penulis aktif di MUI Jatim
(Hidayatullah)