Kartu Prakerja sudah kita dengar jauh hari sebelum corona datang. Sejak kampanye pilpres, sudah ada. Artinya, ini program yang bukan ‘khusus’ disiapkan untuk mengantisipasi corona. Di sini kita bicara tentang iktikad kebijakan. Sejauh mana suatu kebijakan diniatkan untuk menguntungkan sebanyak-banyaknya kepentingan masyarakat.
Saya kutip wawancara Katadata dengan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari. Oh iya, Mbak Denni ini juga menjabat sebagai Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP).
“Insentif pasca-pelatihan yang awalnya kami desain nilainya cukup kecil, sekarang menjadi besar.”
Artinya adalah memang sejak awal alokasi dana terbesar adalah untuk pelatihan. Siapa pelaksananya? Platform digital dan lembaga pelatihan. Apakah dengan demikian masyarakat harus berterima kasih karena corona sehingga alokasinya menjadi dibalik? Miris ya.
Jika sudah direncanakan sejak sebelum ada corona, seharusnya pengadaannya juga dilakukan mengikuti aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Misal melalui tender dan sejenisnya. Apalagi nilai proyek ini besar: Rp 20 triliun.
Tapi corona datang (contohnya saya di Jakarta ‘diisolasi’ sejak 16 Maret 2020). Keluar Perppu 1/2020 tanggal 31 Maret 2020. Apakah dengan adanya Perppu itu situasi menjadi darurat dan karena kedaruratan itu diperbolehkan untuk tidak menggunakan aturan pengadaan barang dan jasa seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan?
Sekilas terdengar masuk akal untuk mengatakan, “Boleh. Karena darurat. Ada Perppu-nya.” Tapi tunggu sejenak. Ada dua peraturan yang nyelonong mendahului Perppu itu: Peraturan Menko Perekonomian 3/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja yang terbit 27 Maret 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan 25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja yang ditetapkan 24 Maret 2020.