Pada 2018, Institut Internasional untuk Pembangunan Berkelanjutan menerbitkan laporan yang mengidentifikasi serangkaian “penghalang jalan” untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Selain itu, laporan itu berpendapat bahwa harga rendah dan kebijakan yang terus berfluktuasi adalah hasil dari tantangan politik mendasar, atau trilemma, yang dihadapi sektor ini. Bagian terberatnya Indonesia masih dibawah kendali bandar minyak dan batubara.
Jokowi Bergerak ke Arah yang Salah
Bahkan, Indonesia bergerak ke arah yang berlawanan. Pemerintah berencana untuk membangun lebih dari 100 pembangkit listrik tenaga batu bara, dan memperluas produksi minyak sawit untuk konsumsi biofuel lokal, yang akan melibatkan deforestasi lebih lanjut dari hutan tropis kaya karbon.
Tambahan lagi perluasan infrastruktur transportasi yang berpusat pada mobil, kelas menengah yang tumbuh dan sangat sedikit investasi dalam energi terbarukan, merupakan resep untuk bencana iklim.
Padahal jika Indonesia gagal mengurangi emisi dan gagal membangun infrastruktur energi bersih, ada sedikit harapan bagi dunia untuk memenuhi tujuan iklim globalnya. Seperti AS, Cina, India, dan Eropa, Indonesia memiliki posisi sangat penting bagi keberhasilan perjanjian Paris.
Apa yang dibutuhkan sekarang, kata para pakar iklim, adalah mobilisasi yang cepat dari pemerintah Indonesia, sektor swasta, dan komunitas global untuk menggeser negara ke paradigma baru yang sadar iklim.
Tersandera Badar
Awalnya Jokowi bangkit dengan megaproyek 35 ribu megawatt, proyek yang bersandar pada pembangkit batubara yang sebagian besar adalah independent power producers (swasta). Listrik yang dihasilkan swasta yang wajib dibeli oleh PLN melalui skema Take or Pay (TOP).
Jokowi juga tersandera oleh bandar bandar energi fosil. Mereka adalah oligarki utama yang menopang kekuasaan saat ini, menopang keuangan pemerintah dan sumber dana politik parlemen.
Maka proyek hulu migas dirancang ambisius. Kilang kilang migas di proyeksikan dibangun besar besaran. Infrastruktur migas menopang proyek proek oligarki.
Namun lima tahun terakhir mereka menelan pil pahit, tidak ada hasil dalam sektor migas. Satu kilangpun tak terbangun. Bahkan pemerintah pun tak berani melaporkan kemajuan proyek listtik dan batubara yang gagal.
Mengapa 35 ribu megawatt gagal? Apa masalahnya, siapa yang menggagalkan dan seterusnya. Semua diam. Bahkan PLN sebagai pihak yang terkena beban merasa bahwa proyek ini membebani mereka.
Sebenarnya sumber kegagalan proyek ini tidak lain dan tidak bukan adalah tidak ada bank yang mau membiayainya. Para investor tahu bahwa proyek ini sebetulnya melawan arah perubahan dunia.
Komitmen dunia untuk mengurangi dan menekan emisi karbon adalah sebab keengganan sektor keuangan dan perbankkan. Kecuali bank-bank di dalam negeri karena berada di bawah tekanan kekuasaan mereka mau dipaksa membiayai proyek-proyek yang tidak properly.
Itulah yang mengakibatkan NPL sektor perbankkan salah satunya yang paling besar adalah NPL sektor tambang dan sektor energi.
Sejak kesepakatan Paris, tidak ada lagi lembaga keuangan dan bank yang mau terkena pajak karbon tinggi karena membiayai tambang, energi fosil, dan pelbangkit fosil. Pajak yang akan menggerus semua keuntungan mereka. Mereka menguncar proyek-proyek energi terbaharukan energi ramah lingkungan dan lain sebagainya sebagai sasaran investasi. Bank vs Perjanjian Paris pada bulan Desember 2017, demikian wacana utama saat ini.
Per Februari 2020 sebanyak 22 bank telah menghentikan pembiayaan langsung ke proyek-proyek tambang batubara termal baru di seluruh dunia; sebanyak 28 bank telah menghentikan pembiayaan langsung ke proyek-proyek pembangkit batubara baru di seluruh dunia.
Namun elite di belakang pemerintahan Jokowi sanggup menutupi mata dari kenyataan ini. Atau jangan-jangan mereka menutup mata presiden akan perubahan yang tengah berlangsung. Untuk apa? Padahal Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi komitmen Paris.