Awalnya satu kebiasaan, sambil menunggu mata terpejam, saya menyalakan teve untuk menonton film-film yang sedang diputar. Malam itu, ketika tombol remote saya tekan, pesawat teve hidup sesaat, lantas kemudian padam. Saya coba lagi dengan remote, tidak bisa. Dengan manual pun gagal. Teve rusak. Akhirnya saya pun tertidur.
Karena teve bukan suatu kebutuhan primer di keluarga kami, saya tidak memasukkan agenda perbaikan teve sebagai prioritas. Dana untuk itu pun belum tersedia. Anak pun lebih suka duduk di depan komputernya, sedangkan isteri sedang sibuk dengan tugasnya sebagai Koordinator MCU (Medical Check-Up) di tempatnya bekerja.
Tanpa terasa satu pekan sudah rumah tanpa siaran teve. Saya teringat dengan beberapa rekan yang sudah lama ‘membunuh’ siaran teve di rumahnya. Mereka bilang, hidup tanpa teve itu benar-benar nikmat. Pikiran jauh lebih fresh, lebih fokus pada agenda-agenda yang jauh lebih penting, waktu menjadi begitu efektif, dan anak serta isteri pun kian keranjingan membaca.
Aku tersenyum dalam hati. Benar juga ya, rumah tanpa siaran teve terasa menjadi semakin bersih. Otak kita tidak dikotori wajah-wajah konyol anggota DPR yang mungkin sedang berapologi tentang rencana amoral membangun gedung baru, otak kita tidak dikotori sampah-sampah sinetron atau gosip-gosip artis yang sungguh-sungguh gak mutu, otak kita terbebas dari wajah-wajah pejabat pemerintah negeri ini yang kian hari kian mirip badut, otak kita merdeka dari polusi-polusi pemberitaan tentang bom, drama Densus-88, KPK, dan lain sebagainya.
Sesekali anak dan juga isteri melayangkan protes juga. Kok teve gak dibetul-betulin? Anak bilang ingin menonton film-film sebelum tidurnya. Kebetulan, kebiasaanku menular padanya. Dan isteri dengan bahasa yang lebih halus menyatakan dia tidak tahu perkembangan berita di luar. Aku jawab, “Memang semua itu penting banget yah? Memang kalo nggak tahu Briptu Norman kita menjadi rugi yah? Enggak juga kan?” Tentu saja, sembari menerangkan dengan kalimat sederhana keuntungan-keuntungan tidak adanya siaran teve di rumah.
Karena saya bukan seorang marketing yang ulung, tidak ada sepersejuta kepiawaian seorang Hermawan Kartajaya, mungkin saja keterangan yang saya berikan tidak memuaskan mereka. Tapi biarlah. Untungnya, mereka bagaimana pun mau turut dengan sikapku.
Rusaknya teve ternyata menjadi berkah tersendiri buat keluarga kami. Empat bulan lebih telah berjalan tanpa ada sedikit pun siaran teve di rumah. Anak yang baru duduk di kelas tujuh menjadi lebih getol membaca buku. Semua buku koleksinya sudah habis dibaca. Sekarang dia mulai membuka-buka buku-buku koleksiku yang ‘lebih berat’. Benar saja, sekarang dia tengah melahap buku sejarah Vlad Dracula, setelah sebelumnya memamah buku kumpulan misteri dunia.
Sedangkan isteri juga ikut-ikutan lebih rajin membaca buku. Dia mengaku lebih enjoy dalam mengerjalan tugas-tugas kerumah tanggaan jika sedang ada di rumah. Jika sedang perlu informasi tentang sesuatu, kami tinggal mencarinya di internet. Untungnya pula, koneksi internet unlimited kami tidak bisa mengakses youtube dan sejenisnya. Belum lagi filter-filter khususnya. Pokoke, amanlah.
Mungkin bukan suatu kesengajaan jika saya juga sedang mengerjakan proyek penulisan tentang Mind Controlling atau program pengendalian pikiran. Di beberapa literatur yang saya dapatkan, disebutkan jika siaran teve merupakan sarana paling ampuh untuk mempengaruhi otak seorang manusia, dari anak-anak hingga otak orang dewasa. Saya mengurut dada, tentu saja dada saya sendiri, dan bersyukur pada Allah Swt.
“Ketika seseorang menonton siaran Teve, mereka memasuki alpha brain wave state, dimana mereka menjadi lebih mudah tersugesti dibandingkan dalam keadaan normal. Pada kenyataannya, BANYAK programming Illuminati dilakukan di dalam “alpha state” ini, karena orang tersebut menjadi rileks dan sangat mudah disugesti,” demikian Svali dalam salah satu wawancaranya.
Svali merupakan ‘codename’ yang sangat populer di dunia maya berkat kesaksiannya sebagai mantan anggota Illuminati. Benar tidaknya sosoknya itu, wallahu allam. Namun segala informasi yang dia berikan, setelah saya crosscheck dengan sejumlah literatur ilmiah, memang benar adanya. Salah satu pakarnya adalah Richard Claproth, Ph.D, yang di dalam bukunya “Dahsyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah” (2011) menguraikan secara panjang lebar tentang hal itu. Claproth juga menyinggung tentang jahatnya Illuminaty yang merancang program The Mind Controlling agar semua manusia bisa dikendalikan dan dipengaruhi pikirannya.
Seorang teman, mungkin juga Anda, tidak sepenuhnya setuju dengan saya. “Man behind the gun!” ujarnya. “Teve hanyalah media, yang menentukan baik buruknya adalah siaran teve. Dan tidak semua siaran teve itu buruk kan?”
Saya mengangguk mengiyakan. Memang, tidak semua program siaran teve itu buruk. Seperti juga dengan tidak semua siaran berita itu bagus. Tidak percaya? Coba perhatikan, jika ada berita tentang penangkapan ‘teroris’ yang dilakukan Densus-88, atau pengrusakan rumah ibadah non Muslim, ada beberapa stasiun teve yang dengan norak melakukan liputannya secara langsung. Namun anehnya, ketika ada penyerangan dan pembakaran masjid di Sumatera Utara, misalnya, stasiun teve ini sama sekali tak meliputnya. Berita pun dewasa ini sudah dipilah-pilih untuk disodorkan kepada penonton. Ini pun salah satu bentuk pengendalian pikiran.
Lalu ada pula acara National Geography atau Discovery. Ini juga tak sepenuhnya jelek. Lalu ada lagi, misal acara parodi politik semacam Sentilan-Sentilun, atau acaranya Kick Andy, ini juga bagus. “Namun,” kata saya. “Acara-acara bagus ini hanya sedikit sekali dibandingkan dengan acara-acara sampah. Adalah tabiat manusia yang mudah terpengaruh oleh siaran-siaran teve yang dikemas dengan begitu indah, sehingga yang tadinya tidak niatan ingin menonton, bisa berubah menjadi pengen banget menonton. Inilah manusia. Inilah saya dan juga Anda.
Lantas bagaimana dengan orang-orang yang punya teve? Apakah pesawat tevenya harus dibuang atau dijual kembali?
Saya tertawa. “Terserah pada masing-masing orang. Beberapa sahabat saya mampu untuk mengenyahkan siaran teve dari rumahnya selama bertahun-tahun, ada juga yang baru bilangan bulan, namun ada juga yang mengaku walau punya teve dan masih menonton siarannya, tapi anaknya juga hobi membaca buku. Alhamdulillah. Ini terserah masing-masing pribadi, jadi sama sekali tidak ada paksaan.”
Lalu mengapa Anda kok menulis tulisan seperti ini? Bukankah Anda sebenarnya tengah berkampanye meniadakan siaran teve dari rumah?
Saya mengangguk. “Benar. Tapi saya tidak memaksa. Hidup itu banyak pilihan. Dan saya hanya mengemukakan salah satu pilihan yang realistis untuk hidup yang jauh lebih sehat. Tapi semua keputusannya ya saya serahkan pada masing-masing individu.”
Dering handphone membuyarkan semua lamunan saya. Ternyata saya sedang berada di depan pesawat teve. Untung saja, teve itu masih rusak. [rz]