Sejenak berkaca melalui perkataan Umar bin Khaththab ra, khulafaur rosyidin ke-2. Beliau pernah berkata “Barang siapa ingin menggenggam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya”. Mahasiswa, sebagai kalangan berusia muda, maka modal terbesarnya adalah kekuatan fisik yang prima. Modal besar inilah yang akan mengelevasi kesuksesan dengan percepatan yang bersifat eksponensial.
Kampus memang tempat mencetak generasi unggul. Keunggulan ini nampak pada anugerah akal yang Allah anugerahkan kepada mahasiswa. Melalui proses pendidikan, akal ini berkembang dan kemudian menjadikan mahasiswa berkapasitas sebagai pemikir (intelektual). Termasuk untuk berpikir tentang politik. Di mana definisi politik yang dimaksud berupa pengaturan urusan masyarakat. Ini terkait erat dengan potensi mahasiswa yang berperan besar sebagai pilar perubahan dan penjaga peradaban. Jika kemudaan usia mereka betul-betul berpadu dengan daya intelektualitasnya, pun dengan kekuatan pemikiran ideologis yang unggul dan luhur, ini akan sangat kuat korelasinya dengan kemajuan suatu bangsa.
Para emak sang veteran gerakan mahasiswa, mereka tak lain adalah sang agen perubahan yang idealnya akan selalu memerlukan bara yang membakar secara benar. Semata untuk menjaga panasnya idealisme yang ia miliki.
Menilik hal ini, kita dapat saksikan bahwa kapan pun dan di mana pun, kaum muda adalah variabel produktivitas. Aktivis mahasiswa tahun 1998, boleh dikata paling melegenda. Karena mereka berjasa melengserkan rezim Orde Baru yang telah 32 tahun berkuasa di Indonesia.
Namun apa mau dikata, tuntutan reformasi 1998 tak diiringi konsep perubahan kehidupan yang hakiki. Para mahasiswa pilar pergerakan saat itu toh nyatanya tak sedikit yang akhirnya memilih jalan kompromi dan masuk ke dalam sistem yang sejatinya sama dengan Orde Baru.