Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!

Sejatinya, masalah yang kini Indonesia hadapi adalah ekonomi yang jeblok. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp 5.000 triliun. Terjadi deindustrialiasi yang tak terbendung. Pengangguran yang membangkak dan lapangan kerja yang entah untuk siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tak kunjung turun secara berarti. Harga-harga yang terus melambung. Pajak yang mencekik.

Joko sepertinya tahu benar fakta ini. Tapi pada pidato pelantikannya, dia telanjur mengumbar mimpi, bahwa pendapatan rakyat Indonesia bakal mencapai Rp 27 juta per bulan.

Pertanyaanya, apakah dia tahu bahwa agar penduduk berpendapatan Rp 27 juta per bulan pada 2045, itu artinya Indonesia harus tumbuh 7,5% sampai 8% setiap tahun berturut-turut selama 26 tahun ke depan? Padahal, fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir (dan itu artinya, selama pemerintahan Joko periode pertama) ekonomi kita cuma berkutat di angka 5%?

Stigma Radikalisme

Tapi, entah karena bisikan siapa, Joko kini sibuk mengalihkan perhatian rakyat pada isu radikalisme. Itulah sebabnya, para menterinya rajin menggonggong soal ini di kementerian masing-masing. Dan, yang membuat darah naik ke ubun-ubun, tudingan radikalisme para pejabat publik tersebut diarahkan kepada Islam dan ummat Islam.

Bahkan, Fachrul Razi yang jadi menteri agama pun mengaku secara khusus mendapat perintah dari mantan Wali Kota Solo itu untuk memerangi radikalisme. Razi, misalnya, begitu diangkat langsung proklamasi  bahwa dia bukanlah menteri agama Islam. “Saya adalah Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/10).

Tapi anehnya, tak lama berselang, dia langsung menebar ancaman kepada para ustaz dan penceramah yang dianggapnya menebar radikalisme dan perpecahan. Pertanyaan mendasar buat Razi, katanya anda bukan Menteri Agama (hanya) Islam melainkan juga agama-agama lain, tapi kenapa tudingan radikalisme dan perpercahan bangsa hanya anda tujukan kepada para ustas dan kiai? Bagaimana dengan para pendeta di gereja, biksu di vihara, tokoh agama di pura dan lainnya? Apa menurut anda mereka pasti tidak radikal?