Eijkman Korban Ngawurisme

Eijkman Korban Ngawurisme

Ilistrasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)/Net

By Daniel Mohammad Rosyid*

BONGKAR pasang kementerian dan LPND kini menimbulkan korban lagi. Kali ini korbannya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang melegenda itu. Ini terjadi setelah Kemenristek dilebur ke dalam Kemendikbud, sementara fungsi riset dan inovasi dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Hemat saya, perombakan ini mubazir karena tidak mengubah proses-proses bisnis utama yang terjadi di Kabinet secara signifikan, bahkan setelah ada KSP segala serta beberapa Menteri Koordinator.

Bahkan penguatan oligarki parpol yang mendukung rezim saat ini, serta adanya Kemenko kesimpangsiuran kebijakan masih sering terjadi. Akar masalahnya satu: biaya politik yang makin tinggi menyebabkan pengelolaan kementrian menjadi sangat dirundung ego sektor.

Koordinasi mensyaratkan kesimetrian informasi lintas-sektor, sedangkan ego sektor merupakan resep bagi inefisiensi koruptif yang justru diharapkan parpol. Ketidaksimetrian informasi membuka insentif untuk tata kelola yang buruk dan dissinergi.

Akar masalah lainnya adalah peleburan Dikti ke dalam Kemendikbud. Dikti dianggap perpanjangan Dikdasmen. Padahal tugas universitas berbeda dengan persekolahan yang kini memonopoli sistem pendidikan nasional.

Di negara maju, tradisi kampus jauh lebih tua daripada tradisi sekolah dan tugas universitas adalah knowledge creation and innovation.

Sekolah hanya merupakan instrumen teknokratik penyiapan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerka pada kepentingan pemilik modal, terutama asing yang sanggup memberi gaji besar.

Menempatkan perguruan tinggi sekedar kelanjutan SMA adalah keliru. Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka jadi lelucon.

Peleburan Dikti ke Kemendikbud menguatkan agenda penjongosan sekaligus pendunguan nasional. Kekuatan kontrol setelah parlemen lumpuh dan media massa hanya menjadi corong pemerintah hanya tinggal perguruan tinggi. Namun kekuatan kontrol berbasis kampus itu kini hilang sama sekali.

Perguruan tinggi bukan lagi lembaga yang memiliki kemerdekaan untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah.

Alasan pokok perguruan tinggi memiliki keistimewaan memberi gelar akademik mulai dipertanyakan. Kampus kini disibukkan untuk memperbaiki lulusan SMA yang tidak mandiri dan tidak dewasa serta melakukan hampir semua hal kecuali yang penting bagi penciptaan pengetahuan dan inovasi.

Pengalaman saya selama 30 tahun lebih di universitas dan menjadi mitra kerja berbagai kementrian menunjukkan bahwa pemerintah sering terlalu percaya diri untuk menerima masukan pakar mandiri dari kampus.

Apalagi banyak anggota eksekutif dan legislatif kini memburu gelar akademik hingga jabatan profesor. Hampir-hampir tidak pernah ada hasil penelitian perguruan tinggi digunakan dalam perumusan kebijakan Pemerintah.

Proyek-proyek penelitian juga dijadikan instrumen korupsi melalui banyak kick back yang berujung di kantong anggota parlemen lagi. Bahkan kini pakar dari universitas sering dipandang sebelah mata oleh birokrat.