Eggi Sudjana dan TPUA Yakin 100 Hari Prabowo Presiden RI Bakal Ganti Kapolri

 


Oleh: Damai Hari Lubis

Pemerhati Kebijakan Umum Hukum dan Politik (KUHP).

Bahwasanya, selaku advokat sebagai sesama Warga Negara yang berkecimpung didalam sektor justicia atau penegakan hukum, bersama Polisi, JPU dan Para Hakim merujuk Pasal 5 UU. Advokat. Maka legaitas Polri merupakan komponen aparatur negara yang memiliki nilai fungsi dan kewenangan yang paling utama dan dominan, utamanya pada sektor pencegahan terhadap tindak kejahatan dengan pola antisipatif selain persuasif, Polri sah bertindak dengan pola ancam paksa dengan “kekerasan” karena aparatur kepolisian/ penyidik Polri dalam pelaksanaan fungsinya berhadapan langsung dengan orang/ orang-orang pada situasi dan kondisi dimana saja dan kapan saja, sehingga anggota polri memang paling terdepan dalam menghadapi atau berhadap-hadapan dengan pelaku delik dan korban delik dibanding JPU dan Para Hakim.

Sebaliknya dan oleh karenanya, berbekal fungsi dan kewenangan yang ada, tentu rawan andai para petinggi polri melakukan aktifitasnya menyimpang dari rule of law.

Lalu bagaimana sektor penegakan hukum oleh Polri (law behavior) kontemporer pada umumnya?

Tentu secara objektif, bahwa eksistensi perilaku aparatur Polri berikut dengan segala sepak terjangnya, jujur amat sangat dikhawatirkan oleh masyarakat, utamanya terhadap para petugas di unit penyidikan.

Oleh karenanya gejala-gejala perkembangan dari perilaku/ attiude aparatur polri di tanah air dewasa ini, Prof Dr. H. Eggi Sudjana Presiden TPUA dan Kawan-Kawan aktivis dari TPUA (Tim Pembela Ulama & Aktivis) kelompok organisasi nir laba, hasil besutan Dr. Habieb Rizieq Shihab/ HRS sepakat dan menyimpulkan, mesti prioritas adanya penggantian orang nomor 1 di tubuh Polri, sebagai pemegang tongkat komando tertinggi.

Hal inisiatif saran penggantian Kapolri ini tidak apriori, melainkan logis karena realitas kinerja Kapolri Jend. Pol.Listyo Sigit Prabowo, nampak jauh dari slogan presisi terkait penegakan hukum (law enforcement), yang banyak tidak sesuai fungsi dan kewenangannya Jo. UU. Tentang Polri Jo. KUHAP fakta hukumnya banyak temuan penindakan hukum yang tidak berkualitas (not quality) sehingga tidak berkepastian hukum (legal uncertainty) serta tidak berkeadilan (injustice). sehingga marwah polisi sebagai abdi hukum menjadi rusak, tidak berkesesuaian dengan slogan “polisi adalah sahabat masyarakat” atau the police as friends of the community.

Tenyata anggota Polri yang idealnya role model atau suri tauladan sebagai pengayom.dan memberi perlindungan, menciptakan ketertiban dan rasa aman serta nyaman sehingga melahirkan kewibawaan dan dihormati, ternyata banyak masyarakat khawatir dan takut terhadap berbagai fenomena law behavior saat ini, karena kesan kuatnya dibawah, Polri dibawah komando Kapolri Listyo Sigit, petinggi Polri yang berperilaku tidak profesional, tidak proporsional, tidak akuntabel, tidak transparansi serta diskriminatif.

Contoh, banyaknya peristiwa kriminal yang justru pelakunya anggota polri, mulai dari kasus esek-esek, pengguna serta terlibat transaksi jaringan narkoba, sampai dengan peristiwa pembunuhan berencana (moord) yang dilakukan oleh Irjen Pol. Ferdy Sambo yang jabatannya spektakuler Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan atau Kadiv Propam Polri (eks direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri), yang terbukti (April 2022) *_membunuh anak buahnya sendiri di rumah dinasnya (rumah fasilitas milik negara),_* yang sebelum terbongkar selain merekayasa dan sampaikan alibi, Sambo terbukti memerintahkan perusakan CCTV lalu malah memfitnah anak buahnya korban memperkosa istrinya (Putri Candrawathi) kemudian seolah adanya terjadi peristiwa tembak menembak antara anak buahnya (Bharada Richard Eliezer).

Dan selain Sambo diduga kuat ditengarai terlibat kasus pengorganisasian konsorsium/ kelompok gank 303 (bidang perjudian), juga Sambo teridentifikasi (sekurang-kurangnya ada kausalitas hukum) sebagai intellectual dader atau medelpleger (delneming), karena indikasi CCTV di jalan tol sekitaran KM. 50 Tol mendadak mengalami kerusakan saat baru saja terjadi tragedi unlawful killing di KM. 50 Cikampek (2020), hal ini terungkap saat persidangan kasus pembunuhan Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat dan kenyataan lainnya dipindahkannya rest area KM 50 locus delicti (TKP) delik pembunuhan (unlawful killing) “Pasal 340 dengan sengaja dan berencana (moord)”, lalu justru anomali bahkan antitesis terhadap sistim hukum yang harus berlaku (hukum positif), malah kembali pada tahap awal proses hukumnya selain beda kenyataan Polri yang dikomandani (Listyo Sigit) membuat penetapan yang bertentangan dengan isi Pasal 77 KUHP. karena menetapkan 6 Mujahid korbannya yang tewas dan syahid sebagai TSK.

Dan para TSK Anggota Polri pembunuhan (moord) tidak pernah satu hari pun ditahan walau terbukti “berencana”, karena proses peristiwa moord didahului adanya surat perintah resmi untuk pengintaian (surveillance).

Dan terbaru saat ini 2024, beberapa selebriti yang terindikasi judi online (justru sebagai marketing), tidak ditahan (perkara aus) sebaliknya berapa banyak yang sudah ditangkap bahkan sudah di vonis dan menjalankan sanksi hukuman penjara? Bahkan penyidik ketika di praperadilan kan oleh kelompok aktivis, berlaku demagog termohon Polri melakukan eksepsi, bahwa, “penyidikan tidak atau belum dihentikan, melainkan masih dalam proses penyelidikan. Entah sampai kapan? Polri melanggar asas asas yang terdapat pada KUHAP Jo. UU. POLRI dan Jo. Vide Perkapolri Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, sehingga Kapolri Listyo Sigit selaku Kapolri tentu bertanggungjawab tentang perilaku dan akibat dari ketidakpastian hukum, karena terbukti tidak proporsional, tidak equal, TIDAK PRESISI terhadap perilaku dan perbuatan dari para anggotanya.

Selanjutnya sedang berlangsung saat ini, Firly Bahuri eks Ketua KPK yang nota bene adalah Anggota Polri, terbukti selaku TSK dalam kasus pemerasan, hingga kini pun “tak diketahui publik rimbanya”, atau tidak berkejelasan, Firly infonya tidak ditahan, melainkan bebas berkeliaran. Sedangkan preman yang bukan penyelenggara negara (Pasal 52 KUHP terkait pemberatan) yang dituduh melakukan pemerasan, dengan nominal jauh lebih rendah dari pemerasan Firly langsung di proses lalu ditahan.

Sehingga perilaku beberapa petinggi polri (law behavior) saat ini dibawah kapolri Listyo Sigit, telah menunjukan eksistensi gejala-gejala fenomena dan dinamika yang mencerminkan degradasi moral yang hampir menyentuh titik nadir peran dan fungsi Polri.

Lalu analoginya terhadap Kapolri yang terbukti gagal dalam melaksanakan tugas pokok fungsi jabatannya, lalu kemudian gagal lagi dalam kesempatan kedua menuju 100 hari kerja Kabinet Merah Putih? Layakkah Presiden Prabowo selaku pemegang hak prerogatif untuk terus mempercayakan tugas Kapolri yang maha berat di pundak Jend. Listyo Sigit?3

Maka sepantasnya, segera copot Jend. Listyo Sigit menjelang 100 hari atau pas 100 hari masa kerjanya, untuk digantikan oleh sosok figur yang benar-benar konsisten dan konsekuen dan “fresh serta nice/ elok track recordnya, sehingga anggota polri tidak menimbulkan kekhawatiran, tidak ditakuti melainkan serius menjadi sahabat masyarakat, demi keamanan dan ketertiban dan rasa aman dan nyaman dalam perlindungan polri. Dan Kapolri yang baru yang elok yakin akan disuport, andai serius terhadap konsep PRESISI, yang berkarya sesuai komitmen dalam wujud pola prediktif, responsibilitas dan transparansi serta berkeadilan. (sumber: Faktakini)

Beri Komentar